Relevankah FH dan Profesi Hukum di Indonesia dalam Pusaran Revolusi Industri 4.0?
Kolom

Relevankah FH dan Profesi Hukum di Indonesia dalam Pusaran Revolusi Industri 4.0?

Kekhawatiran terhadap hilangnya relevansi dari pendidikan tinggi hukum dan profesi hukum sebenarnya akan selalu terjawab dengan kemauan mahasiswa untuk terus mau belajar, berpikir, dan beradaptasi, terutama yang terkait teknologi informasi.

Bacaan 8 Menit
Tresnawati, S.H., L.LM., adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha.
Tresnawati, S.H., L.LM., adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha.

Revolusi Industri 4.0 atau lebih dikenal dengan Industri 4.0, telah mengubah sendi kehidupan sehari-hari umat manusia. Karakter dari Industri 4.0 yang penuh dengan automasi termasuk dalam proses manufaktur, di mana penggunaan pabrik pintar dan mesin pintar untuk proses produksi yang lebih efisien dan produktif. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa mayoritas kehidupan orang Indonesia sudah terokupasi peran dari telepon pintar. Fenomena ini memperlihatkan betapa teknologi sudah menginfiltrasi kehidupan umat manusia.

Menjadi pertanyaan, bagaimana dampak dari Industri 4.0 ini terhadap manusia Indonesia, yang saat ini diklaim berjumlah sekitar 278 juta jiwa, yang tersebar di belasan ribu pulau di Indonesia, dengan dukungan infrastruktur internet yang berbeda-beda pula. Tentunya, akan butuh riset yang mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut, namun satu hal yang pasti adalah infrastruktur teknologi yang tidak sama rata berdampak pada perbedaan pemahaman terhadap fenomena teknologi terkini, seperti misalnya blockchain.

Saat ini, teknologi blockchain -digagas oleh komunitas yang tidak diketahui yang dinamai Satoshi Nakamoto-, merupakan teknologi terkini yang pendeknya merupakan buku besar (ledger) yang memiliki karakter desentralisasi atau terdistribusi, transparansi dan tidak dapat terhapus datanya, sehingga tidak membutuhkan kepercayaan antara para pihak yang terlibat di dalamnya. Regulasi terhadap teknologi blockchain di Indonesia masih terbatas pada mata uang kripto, yang berdampak pada pemahaman parsial terhadap teknologi blockchain yang dianggap ‘hanya’ sebagai bagian dari mata uang kripto dan bitcoin. Padahal penerapan blockchain ini dapat digunakan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk birokrasi pemerintah, rantai pasok, bahkan untuk sertifikasi halal, mengingat blockchain bisa melacak pergerakan dokumen, transparan dan tidak terhapus, sehingga bisa melacak asal benda.

Asosiasi Blockchain Indonesia didirikan sejak 2018 merupakan bukti tak terbantahkan, bahwa blockchain bukan sekadar ’wacana’ di Indonesia. Sebagai contoh nyata, diumumkan pada 26 April 2022 lalu, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama melakukan eksplorasi pemanfaatan artificial intelligence (AI) dan blockchain dalam layanan sertifikasi halal.

Baca juga:

Ubi societas ibi ius, di mana ada sekompok masyarakat, maka kelompok masyarakat itu akan menciptakan peraturan untuk berlaku di antara mereka. Peran masyarakat ini digantikan oleh negara yang berusaha mengatur kegiatan yang terjadi dalam wilayah yurisdiksinya. Walaupun berhadapan dengan sifat internet yang berkarakter demokratis, deteritorialisasi dan turbulensi dari teknologi itu sendiri, negara sebagai organisasi modern yang tertinggi dan berdaulat selalu mengatur kegiatan yang terjadi di wilayahnya. Walaupun sudah ada beberapa penelitian, di mana hukum perlindungan konsumen, hukum persaingan usaha dan hukum perdata internasional akan terdampak blockchain dan smart contract, namun hingga saat ini, perkembangan regulasi blockchain masih prematur.

Regulasi Indonesia masih terbatas pada Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial yang memandang blockchain ‘hanya’ sebagai bentuk penyelenggaraan teknologi finansial dalam sistem pembayaran. Sedangkan Pasal 3 ayat 2 Peraturan Bappebti Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka mengamanatkan bahwa asset krypto hanya bisa diperdagangkan apabila memenuhi syarat berbasis distributed ledger technology (yaitu blockchain). Bisa dibilang, pengaturan yang ada ini masih memandang blockchain hanya terkait asset kripto dan fintech saja.

Tags:

Berita Terkait