Relevankah Protokol Arbitrase-Mediasi-Arbitrase Buatan Singapura Diterapkan di Indonesia?
Utama

Relevankah Protokol Arbitrase-Mediasi-Arbitrase Buatan Singapura Diterapkan di Indonesia?

Protokol arb-med-arb merupakan protokol kombinasi penyelesaian sengketa mediasi dan arbitrase yang dicetuskan melalui kerjasama antara SIAC dan SIMC di Singapura pada tahun 2004.

Oleh:
CR-25
Bacaan 2 Menit

 

“Permasalahannya, bagaimana jika salah satu pihak ingkar di kemudian hari?” ungkap Bobby. Tentu saja dispute tersebut akan berujung di pengadilan, mengingat memang belum ada produk seperti putusan arbitrase atau putusan pengadilan yang bisa memaksa para pihak untuk mematuhi itu dan bisa langsung di-enforce.

 

Pernah diterapkan di Indonesia?

Direktur Eksekutif Pusat Mediasi Nasional (PMN), Fahmi Shahab, mengungkapkan bahwa protokol arb-med-arb ini memang tergolong baru dikenal di Indonesia. Namun Fahmi menyatakan bahwa kemungkinan arb-med-arb tersebut sudah pernah diterapkan di BANI sekalipun konsepnya berbeda dengan protokol arb-med-arb versi Singapura. BANI dalam presentasi mereka menyampaikan, kata Fahmi, bahwa hampir 60% award atau keputusan yang diberikan BANI adalah berdasarkan kesepakatan.

 

Berdasarkan pengamatan Fahmi, para pihak mendaftar melalui arbitrase di BANI. Namun sebelum proses arbitrase atau sebelum keluarnya putusan arbitrase, maka para pihak di mediasi-kan terlebih dahulu. Setelah sepakat maka para pihak biasanya menginginkan agar kesepakatan tersebut dikukuhkan menjadi sebuah arbitral award.

 

“Artinya mereka sudah menggunakan,” jelas Fahmi kepada hukumonline.

 

Namun demikian, Fahmi mengakui proses arb-med-arb yang dilakukan BANI sangat berbeda dengan protokol arb-med-arb keluaran Singapura. Salah satu hal yang membedakan versi BANI dan SIAC-SIMC terletak pada mediator dan arbiternya.

 

Lebih lanjut dijelaskan Fahmi, untuk SIAC-SIMC, mereka memisahkan tugas untuk melakukan Mediasi dengan Arbitrase. Dalam hal ini, SIAC dan SIMC memiliki MoU untuk melakukan kolaborasi, sehingga jika ada kasus arbitrase yang masuk ke SIAC dan mau dilakukan mediasi maka proses mediasi akan diserahkan pada SIMC.

 

Lain halnya dengan praktik di BANI, Fahmi mengamati bahwa mediator yang melakukan tugasnya pada mediasi biasanya juga merupakan arbiter yang akan mengadili kasus tersebut. Sementara, kata Fahmi, kebanyakan pihak lebih memilih orang yang menjadi mediator bukan pemutus. Hal ini penting untuk memastikan terwujudnya proses yang baik dan meyakinkan para pihak, sehingga jika ia berbicara apapun selama proses mediasi, seharusnya tidak didengar oleh pemutusnya (arbiter).

 

Fahmi tak menampik memang ada perkara mediasi tertentu yang minta dikukuhkan di pengadilan. Persoalnnya kemudian, kata Fahmi, ketika hasil mediasi dikukuhkan di pengadilan, maka keberlakukan putusan hasil mediasi tersebut akan dipersamakan dengan putusan-putusan pengadilan lainnya, yakni bisa menjadi domain public.

 

“itu salah satu yang mungkin menjadi hal yang tidak enak buat para pihak, karena kesepakatan mediasi-nya menjadi domain public,” pungkas Fahmi.

 

Tags:

Berita Terkait