Rencana Tax Amnesty Jilid II Tuai Penolakan
Terbaru

Rencana Tax Amnesty Jilid II Tuai Penolakan

Salah satu yang jadi perhatian utama publik dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yaitu kebijakan program peningkatan kepatuhan wajib pajak. FITRA menilai konsep dari program tersebut hampir sama dengan Tax Amnesty (TA) tahun 2016.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah bersama DPR RI telah membahas dan menyepakati tingkat pertama Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Nantinya, aturan tersebut akan disahkan dalam rapat paripurna. Beleid yang penyusunannya menggunakan metode omnibus law merevisi UU Nomor 6 Tahun1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Salah satu yang jadi perhatian utama publik dalam RUU HPP yaitu kebijakan program peningkatan kepatuhan wajib pajak. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan konsep dari program tersebut hampir sama dengan Tax Amnesty (TA) tahun 2016. Program tersebut memperbolehkan orang atau wajib pajak yang selama ini tidak membayar diberikan kesempatan untuk melaporkan dan dikenakan tarif khusus, bahkan di kebijakan yang baru tarifnya bisa lebih besar yaitu mencapai 12,5 persen hingga 30 persen.

Sekjen FITRA, Misbah Hasan menyatakan jika mengevaluasi Tax Amnesty tahun 2016, tindak lanjut dari pelapor atau wajib pajak luar negeri masih lemah. Sebab, berdasarkan Risalah Rapat DPR RI saat itu menyebutkan tujuan TA adalah menarik kembali dana Rp 11.300 triliun milik WNI yang diparkir di luar negeri.

“Ketika kebijakan tersebut diimplementasikan, justru repatriasi dana WNI di luar negeri tidak maksimal sama sekali. Contohnya dana WNI di Singapura tidak berhasil ditarik karena Singapura tidak punya perjanjian ekstradisi,” jelas Misbah, Selasa (5/10).  (Baca: Pembentuk UU Sepakat Bakal Mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan)

Selain itu, dia menyatakan posisi tawar pemerintah begitu lemah untuk menarik dana yang terparkir di luar negeri, hal ini diakibatkan dari lemahnya aspek perjanjian bilateral dan politik bilateral. “Alih-alih menarik kembali dana WNI di luar negeri, Tax Amnesty malah menyasar ke Wajib Pajak dalam negeri dari mulai UMKM sampai pensiunan. Sehingga bisa dikatakan jika program ini diberlakukan lagi maka akan berpotensi tidak efektif dan cenderung memberikan karpet merah bagi pengemplang pajak,” jelasnya.  

Sementara itu, Divisi Advokasi FITRA, Gulfino menyampaikan terdapat lima alasan FITRA menolak tegas pengampunan pajak berkedok program peningkatan kepatuhan wajib pajak tersebut. Pertama, jika pemerintah melakukan kebijakan tersebut maka pemerintah akan menurunkan citra di mata wajib pajak yang lainnya terlebih jarak antara TA 2016 dengan program ini relatif dekat.

Kedua, pemerintah akan dinilai tidak serius dan tidak memiliki peta jalan terkait perpajakan karena tahun setelah Tax Amnesty 2016 seharusnya dijadikan momentum kepatuhan pajak, bukan mendiskon pajak besar-besaran. Terlebih, tidak ada mekanisme screening atau pemeriksaan dan pengawasan yang diatur dalam RUU HPP ini, sehingga rentan terhadap pelaporan harta hasil pencucian uang, hasil kejahatan, atau asset hasil penghindaran pajak lintas negara. 

Ketiga, kebijakan tersebut berpotensi membuat proses hukum pajak yang berjalan menjadi tertunda dan bertentangan dengan filosofi pajak itu sendiri. Keempat, jika argumen pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, maka lebih baik pemerintah memanfaatkan data Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk mendongkrak pendapatan negara (dari luar negeri). Alih-alih menerapkan TA jilid II, pemerintah seharusnya mulai mengumumkan para pengemplang pajak ke publik, sehingga ada keadilan bagi wajib pajak yang patuh. Dan pada akhirnya, dapat meringankan beban defisit APBN.

Kelima, kebijakan ini dibahas secara tertutup dari publik sehingga patut dicurigai apakah ini merupakan kepetingan publik atau elit politik. “Program Tax Amnesty (TA) merupakan program jangka pendek untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, sedangkan untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka panjang adalah dengan cara meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan perluasan basis data perpajakan,” jelas Gunardi. 

Selain itu, dia menjelaskan sebenarnya Indonesia sudah memiliki modal kepatuhan dan basis data, hanya saja berpotensi rusak jika kebijakan TA jilid II diterapkan. “Masalah pajak di Indonesia adalah kepatuhan dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat perpajakan, jadi alangkah lebih baik jika pemerintah memprioritaskan reformasi sistem administrasi perpajakan dari pada memberikan diskon pajak melalui Tax Amnesty jilid II,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait