Respons Pembentuk UU atas Kritik Masyarakat terhadap KUHP Baru
Utama

Respons Pembentuk UU atas Kritik Masyarakat terhadap KUHP Baru

Dari aspek proses pembentukan KUHP dan substansi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Pasca dialog publik, pemerintah memasukkan draf RKUHP pada 9 November 2022. Menurutnya, terjadi perubahan jumlah pasal maupun beberapa substansi. Menurutnya, dari 14 isu krusial menjadi 69 item perubahan berdasarkan masukan dari publik. Karenanya, anggota dewan kerap menggingatkan agar memasukkan dua naskah RKUHP versi terbaru dengan sebelumnya, termasuk matrik dan keterangan masukan dari masyarakat.

“Makanya jelas, kalau kita tidak melibatkan publik, maka itu hoax dan tidak paham proses,” ujarnya.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) itu melanjutkan sumber Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) berasal dari masyarakat yang notabene sama halnya yang memberikan masukan ke pemerintah, sehingga menjadi satu frekuensi. Karenanya ketika rapat pembahasan RKUHP terakhir, pemerintah menegaskan 99 persen masukan DPR dapat diterima pemerintah.

“Jadi jangan lihat proses formal di DPR, tapi kami membahas informal dan melibatkan koalisi masyarakat sipil. Silakan tanya ICJR, LeIP, IJRS, membantu pemerintah dan DPR!”

Kedua, dari aspek substansi. Eddy, begitu biasa disapa mengaku tak risau dengan kritikan dari PBB maupun warga asing. Sebab, yang diprotes merupakan tindak pidana kesusilaan.  Menurutnya, dalam setiap negara memiliki perbedaan dalam delik politik, kesusilaan dan pidana mati. Dalam kejahatan kesusilaan, yang menjadi sorotan delik perzinahan dan kohabitasi.

“Jangan dibanding-bandingkan, masing-masing negara memang berbeda,” dalihnya.

Baginya, setiap negara memiliki pandangan terhadap delik kesusilaan. Hanya saja, terdapat penilaian sebagian masyarakat seolah mendukung pandangan Amerika, Prancis, dan Australia soal kohabitasi. Pandangan tersebut menandakan masih bermental inlander (penjajah) lantaran terlampau lama hidup menggunakan KUHP warisan colonial Belanda.

Eddy ingat betul saat merumuskan pasal kohabitasi. Semula Fraksi Nasdem, Golkar, dan PDIP meminta pasal kohabitasi ditarik dari RKUHP dengan sejumlah alasan. Pemerintah pun dapat memahami alasan tiga fraksi partai tersebut. Tapi, bila menghapus pasal kohabitasi, fraksi partai berlatarbelakang Islam bakal menolak. Makanya pemerintah mencari jalan tengah dengan tetap mengatur pasal kohabitasi, namun memberi penjelasan. Dengan berlakunya pasal kohabitasi, maka semua aturan di bawah UU tidak berlaku.

Menurutnya, bila melihat secara jernih, pasal yang mengatur kohabitasi memiliki value dan memberikan perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan satuan polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) di daerah yang melakukan sweaping. Sebab, dengan hukum acaranya, penggrebekan tidak dapat dilakukan, karena pasal ini merupakan delik aduan absolut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait