Respons Pembentuk UU atas Kritik Masyarakat terhadap KUHP Baru
Utama

Respons Pembentuk UU atas Kritik Masyarakat terhadap KUHP Baru

Dari aspek proses pembentukan KUHP dan substansi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

“Jadi ini saya kira win-win solution Indonesia way mengakomodir berbagai kepentingan,” kata dia.

Ada pula yang mengilustrasikan keberadaan pasal kohabitasi bakal menyulitkan investor masuk. Baginya pandangan ini terlampau berlebihan. Bila turis membawa pasangannya yang tidak terikat perkawinan tak serta merta dapat diproses hukum di Indonesia. Sebab, yang berhak mengadu adalah orang tua dan anak yang tidak terikat perkawinan. “Emangnya orang tua dan anaknya mau mengadu ke Indonesia. Kurang kerjaan,” ujarnya.

Tak ada kepentingan politik

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani melanjutkan membuat KUHP di negara yang multi etnis dan agama serta wilayah yang sedemikian luas bukan pekerjaan mudah. Apalagi membentuk UU yang sudut pandangnya memiliki keberagaman. Karenanya bagi DPR, kata Arsul, KUHP bukanlah UU yang bermuatan politik. “Tidak ada kepentingan politik, hal tertentu ada kepentingan ideologis,” ujarnya.

Dia menunjuk soal pasal nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat atau living law. Menurutnya banyak pakar hukum yang mengkritisi pengaturan living law dengan perdebatan konsepsi. Namun bagi DPR, kalaupun dihapus pun tak ada persoalan. Tapi, adanya pengaturan living law cenderung pada penghargaan negara.

Begitupula dengan pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Menurutnya pasal tersebut hendak dihapus pun tak menjadi persoalan bagi DPR. Masyarakat sipil meminta pasal tersebut dihapus agar tak ada ancaman ketika mengkritik kepala negara. Namun para ahli hukum pidana mengingatkan adanya pasal lain bila presiden negara lain berkunjung ke Indonesia dan dihina atau diserang harkat martabatnya dapat dipidana. “Masa presiden sendiri, tidak?”

Tags:

Berita Terkait