Revisi Aturan Controlled Foreign Company untuk Jerat Korporasi Penghindar Pajak
Utama

Revisi Aturan Controlled Foreign Company untuk Jerat Korporasi Penghindar Pajak

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan setelah revisi aturan terbaru terbit, perusahaan akan sangat sulit melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) karena DJP dapat mengejar kewaiban pajak perusahaan meskipun telah dialihkan ke anak perusahanan di luar negeri.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Direktur Perpajakan Internasional pada DJP Kementerian Keuangan, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol. Foto: NNP
Direktur Perpajakan Internasional pada DJP Kementerian Keuangan, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol. Foto: NNP
Indonesia berkomitmen melawan praktik penghindaran pajak lintas negara. Dalam waktu dekat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akan menerbitkan regulasi terkait perlakuan penghasilan dari perusahaan terkendali di luar negeri yang dimiliki wajib pajak Indonesia (Controlled Foreign Company/CFC).

Direktur Perpajakan Internasional pada DJP Kementerian Keuangan, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan bahwa pihaknya akan menyempurnakan aturan terkait praktik CFC yang dinilai kurang berjalan efektif. Revisi aturan ini, kata John, juga sejalan dengan implementasi aksi ke-3 dalam kerangka anti Penggerusan Pendapatan dan Pengalihan Keuntungan atau lebih dikenal dengan istilah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat PMK (Peraturan Menteri Keuangan) itu bisa segera ditandatangani bu Menteri (Menteri Keuangan RI),” kata John beberapa waktu kemarin di Jakarta.

Saat ini, ketentuan CFC mengacu pada UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), khususnya Pasal 18 ayat (2) aturan tersebut. Lalu, aturan turunan dari UU Nomor 36 Tahun 2008, yakni PMK Nomor 256/PMK.03/2008 Tahun 2008 tentang Penetapan saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.

(Baca Juga: Ingat! Penegakan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak Pasca Tax Amnesty Berakhir)

Selain dua aturan itu, pengaturan CFC juga merujuk ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 59/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya Pajak yang Harus di Bayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib pajak dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.

“Jadi, PMK yang sekarang dirasa belum efektif untuk mencegah praktik penghindaran pajak. Oleh karena itu, kita on going lagi revise,” sambung John.

Sayangnya, John enggan menjelaskan lebih detil terkait kelemahan pengaturan CFC yang berlaku saat ini. Namun yang pasti, John menyebutkan bahwa regulasi tersebut dinilai masih memungkinkan wajib pajak melakukan penghindaran pajak. Misalnya, dengan mendirikan anak perusahaan di luar negeri untuk tujuan mengalihkan keuntungan perusahaan ke anak perusahaan di luar negeri tersebut yang umumnya dilakukan dengan melakukan rekayasa keuangan, seperti transfer pricing.

“Dia shifting profit kesana dengan berbagai macam transaksi keuangan rekayasa, misalnya transfer pricing, ekspor kesana, profit pulling. Kemudian, dia tidak membagikan deviden di Indonesia, itu bisa kita tarik,” kata John.

Lebih lanjut, dalam revisi PMK terbaru itu, praktik penghindaran pajak yang lazim dilakukan seperti itu akan bisa dimintai pertanggungjawaban pajaknya oleh otoritas pajak, dalam hal ini DJP. John mengatakan, salah satu poin yang akan direvisi yakni dengan memperkuat definisi-definisi penghindaran pajak serta memperluas cakupan penghindaran pajak oleh wajib pajak. Sehingga, praktik penghindaran pajak seperti CFC ini akan sangat sulit sekali dicari celahnya oleh pelaku bisnis.

“Intinya, kita membuat regulasi yang lebih efektif terutama dalam defiinisi. Definisi itu yang kita perkuat sehingga kelemahan dari regulasi saat ini bisa kita atasi, in line dengan Action Rekomendasi BEPS ke-3. Jadi kita in line dengan standar internasional yang sudah dikeluarkan tahun 2015,” sebutnya.

Sebagai anggota negara G-20, Indonesia terus mendukung upaya memerangi penghindaran pajak salah satunya dengan ikut dalam forum-forum global anti penghindaran pajak. Sekira November 2015 lalu, DJP bekerjasama dengan OECD - Center for Tax Policy and Administration (CTPA) dan OECD Korea Policy Center menyelenggarakan Asia-Pacific Technical Committee Meeting on Base Erosion Profit Shifting di Yogyakarta dan  dihadiri kurang lebih 34 delegasi. Dalam pertemuan itu, puluhan negara membahas upaya mencari pendekatan yang tepat untuk menerapkan rekomendasi yang dihasilkan BEPS Project sebagaimana tertuang dalam final report yang diumumkan OECD atas 15 BEPS Action Plans.
15 Action Plans
 
1.    Mengatasi tantangan pemajakan atas transaksi digital (digital economy) - Action 1

Yaitu bagaimana mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang timbul dalam penerapan ketentuan perpajakan internasional atas transaksi-transaksi yang dilakukan secara digital (digital economy). Dalam melakukan transaksi bisnis secara digital, sebagai contoh penjualan produk melalui secara on-line (melalui internet), suatu perusahaan dapat menghindari pemajakan di negara lain atas laba yang berasal dari transaksi tersebut karena perusahaan tersebut secara fisik tidak hadir di negara lain sehingga tidak menimbulkan Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut.

2.    Mengatasi atau menetralkan efek dari skema-skema hybrid mismatch arrangements - Action 2

Yaitu dengan cara mengembangkan Model P3B serta penyusunan rekomendasi bagi ketentuan perpajakan domestik untuk menetralkan efek yang timbul dari hybrid instrument dan hybrid entities.

3.    Memperkuat aturan Controlled Foreign Company (CFC) – Action 3

Controlled Foreign Company (CFC) adalah perusahaan terkendali yang dimiliki oleh Wajib Pajak dalam negeri yang berada di negara-negara yang mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance).

4.    Mencegah erosi pajak yang dilakukan melalui pembebanan biaya bunga dan pembebanan biaya keuangan lainnya – Action 4
5.    Menanggulangi praktek perpajakan yang merugikan dengan lebih efektif serta memperhatikan transparansi dan substansi transaksi – Action 5
6.    Mencegah penyalahgunaan P3B (treaty abuse) Action 6
7.    Mencegah penghindaran pajak melalui pemanfaatan aturan tentang bentuk usaha tetap – Action 7
8.    Memastikan aturan-aturan transfer pricing terkait:
- harta tak berwujud (Action 8);
- risiko dan modal (Action 9); dan
- transaksi-transaksi beresiko tinggi lainnya (Action 10),
  selaras dengan penciptaan profit.
9.    Menciptakan metode untuk mengumpulkan dan menganalisa data terkait BEPS dan langkah-langkah untuk menindaklanjutinya – Action 11
10. Mengharuskan pengungkapkan perencanaan pajak yang agresif terhadap Wajib Pajak – Action 12
11.Memperbaiki peraturan terkait dokumentasi Transfer Pricing Action 13
12.Membuat mekanisme penyelesaian sengketa pajak menjadi lebih efektif – Action 14
13.  Mengembangkan instrument multilateral agar BEPS Project dapat dilaksanakan - Action 15.
 
Mesti diketahui, alasan di balik munculnya 15 BEPS Action Plans yakni  karena semakin meningkatnya transaksi yang bersifat lintas batas (cross-border transactions) dengan tujuan perdagangan maupun investasi terutama oleh perusahaan multinasional baik dari dalam dan luar negeri ke Indonesia atau sebaliknya dengan sistem pemajakan yang berbeda di tiap negara memungkinkan terjadinya konflik atau benturan mengenai pengenaan pajaknya. Salah satu instrumen yang digunakan untuk menghindari pengenaan pajak berganda adalah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

(Baca Juga: Penyidik Pajak Akan Dapat Izin Akses Data Nasabah Perbankan dalam 14 Hari)

Pembentukan P3B diawali dengan semangat untuk mengurangi potensi terjadinya pengenaan pajak berganda. Akan tetapi, terdapat upaya untuk memanfaatkan celah hukum dan perbedaan peraturan pajak di berbagai negara untuk menggerus basis pajak di negara-negara tersebut. Permasalahan inilah yang dikenal dengan istilah BEPS. BEPS umumnya terjadi akibat strategi perencanaan pajak (tax planning) agresif yang memanfaatkan celah dan perbedaan peraturan perpajakan di berbagai negara untuk menggeser keuntungan ke negara atau yurisdiksi dengan tarif pajak rendah atau bahkan tanpa tarif pajak.
Penyebab dan Dampak Praktik BEPS
 
Penyebab:
a.    Praktek profit shifting yang dilakukan oleh MNCs untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka dan memaksimalkan profit mereka merupakan penyebab utama BEPS.
b.    Regulasi perpajakan global konvensional (yang disusun 80 tahun lalu) sudah tidak  dapat mengatur perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks.
c.    Sistem perpajakan yang berlaku saat ini (konvensional) memudahkan dan mendorong MNCs untuk melakukan praktek pengurangan kewajiban pajaknya.
d.    Penyalahgunaan penghindaran pajak oleh MNCs telah memberikan keunggulan kompetitif bagi mereka, meskipun hal ini mendorong munculnya masalah keadilan dan kepatuhan pajak.
e.    Saat ini telah berkembang praktek di mana MNCs tidak membayar kewajiban pajaknya di negara di mana mereka beroperasi dan mendapatkan keuntungan usaha.
f.      Penyelesaian secara sepihak dan parsial tidak akan berhasil mengatasi masalah BEPS. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan multilateral, dengan melibatkan semua negara dapat menyelesaikan masalah ini.

Dampak:
a.    Menyebabkan risiko serius bagi penerimaan pajak suatu negara, kedaulatan dan keadilan perpajakan baik bagi negara maju maupun negara berkembang, khususnya bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi.
b.    Mendorong berkembangnya praktek profit shifting ke negara low-tax jurisdiction oleh MNCs. Perbedaan tarif pajak menimbulkan kesempatan melakukan tax arbitrage, yang pada umumnya dimanfaatkan oleh MNCs dalam tax planning-nya. Mendorong meningkatnya praktek tax dispute dan tax arbritage apabila tidak diselesaikan secara tepat dan cepat. Apabila wajib pajak dalam negeri memandang bahwa MNCs dapat dengan mudah menghindari kewajiban pajaknya, maka hal ini akan menggangu kepatuhan wajib pajak lainnya.
Sumber: Diolah dari Tulisan Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, Nanang Zainal Arifin, 2014. (kemenkeu.go.id)

Penggeseran keuntungan ini sebenarnya bersifat artifisial, karena pada kenyataannya tidak terdapat aktivitas ekonomi yang terjadi di negara atau yurisdiksi dengan tarif pajak rendah atau tanpa tarif pajak. Dari 15 action plans itu, pemerintah dalam berbagai kesempatan terus menyatakan komitmen untuk fokus terhadap enam action plans di atas. Keenam fokus pemerintah itu terkait digital economy (Action 1), preventing treaty abuse (Action 6), CFC (Action 3) dan transfer pricing (Action 8, 9, 10).

Terkait transfer pricing, pemerintah telah menerbitkan PMK Nomor 213/PMK.03/2016 Tahun 2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya. Aturan ini ditujukan untuk memberikan pedoman lebih lanjut bagi wajib pajak mengenai penyimpanan dan pengelolaan dokumen dan/atau informasi yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, khususnya dokumen yang berkaitan dengan transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak tersebut.

“Jadi perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi hubungan istimewa (group) itu wajib menyiapkan master file dan local file untuk kepentingan perpajakan. Jadi, untuk mengetahui benar tidaknya transaksi kadang transaksi itu fiktif karena grup dimuncul-munculkan. Lalu, betulkah transaksinya. (lalu) ketiga, mengenai nilainya, wajar ngga. Itu semua harus didokumentasikan dalam sheet,” sebut John.

(Baca Juga: DJP Tambah Wewenang Account Representative Periksa WP Pasca Tax Amnesty)
Tags:

Berita Terkait