DPR bersama pemerintah resmi menyetujui Revisi Undang-Undang No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Suryo Utomo menyampaikan bahwa revisi UU tersebut mendesak dilakukan dalam rangka penyesuaian regulasi untuk mengikuti perkembangan ekonomi, hukum, teknologi, dan sosial.
“Melihat dinamika perubahan zaman yang sedemikan rupa bahasa bea meterai diperluas, terutama sekarang adanya dokumen elektronik,” kata Suryo dalam Media Briefing secara daring, Rabu (30/9).
Suryo menyebutkan tujuh hal pokok yang mendasari revisi UU Bea Meterai, yaitu dari sisi obyek, tarif, saat terutang, pihak yang terutan, cara membayar, sanksi dan fasilitas. Suryo menyebut UU Bea Materai baru ini mulai berlaku pada tahun 2021 mendatang.
Direktur Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Arif Yanuar, memaparkan tujuh poin perubahan UU Bea Meterai. Pertama, dari sisi objek. Objek dimaksud pada UU Bea Materai baru adalah dokumen perdata, baik kertas maupun elektronik (termasuk dokumen lelang dan dokumen transaksi surat berharga).
Sedangkan untuk non objek meliputi dokumen lalu lintas orang& barang, dokumen terkait keuangan negara, dokumen internal organisasi, dokumen sehubungan dengan pekerjaan (Slip gaji dan sejenisnya), dokumen lain (Ijazah, Simpanan uang atau surat berharga, Surat gadai), dan dokumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter. (Baca Juga: Bakal Disahkan, Tujuh Poin Perubahan dalam RUU Bea Meterai)
Kedua, tarif. Tarif bea materai tetap naik menjadi satu harga yakni Rp10.000. Namun terdapat aturan tarif tetap yang berbeda (untuk kondisi dan tujuan tertentu). Tarif bea meterai Rp10 ribu hanya berlaku untuk transaksi dengan nominal sama atau lebih besar dari Rp5 juta. Sementara untuk transaksi di bawah Rp5 juta tidak diwajibkan menggunakan meterai.
“Bea meterai berlaku untuk dokumen yang berisi jumlah uang di atas Rp5 juta, jadi di satu sisi ada kenaikan tarif, tapi di sisi lain ada dokumen tertentu yang tidak dikenai tarif,” jelas Arif.