Revisi UU ITE Cara Menjaga Keberlangsungan Demokrasi
Terbaru

Revisi UU ITE Cara Menjaga Keberlangsungan Demokrasi

Berdasarkan hasil survei, mayoritas responden menghendaki revisi UU ITE.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Pol Slamet Uliandi berpendapat, revisi UU ITE menjadi kewenangan pembuat UU. Namun dalam rangka menjaga agar UU ITE tidak disalahgunakan, Kapolri pun telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No.2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif.

Polri pun membentuk virtual police. Tujuannya menciptakan media sosial yang bersih, sehat, dan produktif, terbebas dari hoax dan hate speech. Bila ditemukan komunikasi atau konten yang berpotensi melanggar UU ITE di ruang publik, penegakan hukum dilakukan secara bertahap. Mulai dalam bentuk preventif, preemtif, dan kuratif.

Jenderal polisi bintang satu itu melanjutkan, virtual police bakal memberikan edukasi secara privat melalui direct message disertai kajian mendalam bersama para ahli. Bila pelaku mengikuti arahan virtual police, maka persoalan dianggap selesai. Sebaliknya bila tidak, korban yang merasa dirugikan dapat membuat laporan ke Polri. “Tidak boleh diwakilkan karena termasuk delik aduan,” ujarnya.

Kemunduran demokrasi

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Prof Jimly Ashiddiqie berpendapat, kemunduran demokrasi tak hanya terjadi di Indonesia, namun banyak di negara lainnya. Gejalanya dipengaruhi berbagai faktor. Antara lain munculnya gejala kekerasan keagamaan, rasisme, dan diskriminasi politik berdasarkan SARA. Kemudian berkembangnya praktik perpanjangan masa jabatan pemerintahan maupun praktik demokrasi tanpa pergantian kekuasaan serta adanya praktik benturan kepentingan antara bisnis dan politik. 

“Ditambah menguatnya gejala deinstitusionalisasi politik yang tidak sejalan dengan upaya pembangunan Demokrasi Pancasila. Terlihat dari maraknya buzzer, hingga aktivitas pejabat publik di media sosial yang justru tidak bisa membedakan mana ranah privat dan ranah jabatan,” katanya.

Anggota Dewan Pakar Brain Society Center, Alfan Alfian menyorot praktik kebebasan berpendapat yang mengalami penurunan. Pasalnya banyak kendala yang dialami masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan ekspresinya. Dengan begitu, berdampak terhadap penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Makanya, kata Alfan, menjadi wajar publik ramai-ramai mendorong dan menyuarakan revisi UU ITE.

Dosen Pasca Sarjana Ilmu Politik Univesitas Nasional itu menilai Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara kampiun demokrasi. Bahkan menjadi contoh bagi banyak negara lainnya.  Sebab di saat Amerika masih sibuk dengan politik identitas, Indonesia mampu melewatinya.  “Sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan golongan, kita juga sukses memadukan demokrasi dengan kemajemukan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait