Revisi UU Kepailitan Buka Pintu Eksekusi Putusan Asing yang Akui Putusan Indonesia
Utama

Revisi UU Kepailitan Buka Pintu Eksekusi Putusan Asing yang Akui Putusan Indonesia

Bisa saja dibuat kesepakatan untuk saling mengakui putusan masing-masing negara atau di tingkat ASEAN menyepakati aturan hukum yang seragam untuk CBI. Namun, Indonesia tetap harus merumuskan regulasi soal CBI agar tak terjadi kekosongan hukum yang berlarut.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

“Sebagai contoh, Singapura itu sudah mengakui putusan kepailitan Pengadilan Indonesia. Jadi kalau kurator ditunjuk di Indonesia, maka kurator tersebut bisa membawa penunjukannya untuk melaksanakan kewenangannya menjual aset yang ada di Singapura,” kata Ibrahim.

 

Menjadi penting untuk disorot, kata Ibrahim, apakah sang kurator tersebut bisa langsung menjual asset di negara lain ataukah harus meminta penetapan pengadilan setempat untuk mengakui kewenangannya tersebut. Dalam praktiknya, berbagai negara berbeda-beda menerapkan kebijakan soal itu.

 

Perbedaan Kriteria Pailit Sulitkan Eksekusi dalam CBI

Guru besar Hukum Bisnis Internasional, Hikmahanto Juwana, menilai ada satu hal yang harus dibenahi dalam aturan kepailitan Indonesia, yakni persoalan ‘kriteria pailit perusahaan’ yang dianggap Hikmahanto tidak comply dengan negara lain. Kalau di negara lain, insolvency test digunakan untuk menilai pailitnya suatu perusahaan adalah ketika betul-betul tak mampu lagi membayar hutang, lain halnya dengan Indonesia yang penetuan pailitnya hanya karena ada 2 kreditur yang salah satunya jatuh tempo.

 

“Lantas kalau di negara yang anut insolvency test apakah mau melaksanakan putusan pailit Indonesia, padahal Indonesia kriterianya salah satu jatuh tempo sudah dipailitkan, bukan karena kesulitan keuangan dan tak mampu bayar hutang,” kata Hikmahanto.

 

(Baca Juga: Sejumlah Persoalan Hukum Mendesak Adanya Revisi UU Kepailitan)

 

Perbedaan kriteria pailit itu dianggap Hikmahanto harus diperbaiki dan disesuaikan dengan aturan di banyak negara, sehingga tidak berpotensi menimbulkan masalah baru ketika sekalipun putusan Indonesia sudah diakui negara yang bersangkutan.

 

Walaupun banyak negara menganut prinsip tak mengakui dan tak melaksanakan putusan asing (Rv 436), namun Uni Eropa patut dicontoh sebagai kawasan yang telah berhasil menembus batas prinsip tersebut melalui implementasi the EU Convention on cross-border insolvency proceedings.

 

“Jadi putusan pailit di satu negara Uni Eropa bisa dieksekusi di negara Uni Eropa lainnya. Tapi syaratnya harus benar nih apa yang dimaksud dengan pailit, karena di negara-negara Eropa gap-nya tak terlalu jauh seperti di negara-negara ASEAN, apalagi di Indonesia 2 kreditur jatuh yang satunya jatuh tempo saja udah pailit,” kata Hikmahanto.

 

Mundur ke belakang, sambung Hikmahanto, kala itu ide dari International Monetary Fund (IMF) untuk mereformasi UU Kepailitan Indonesia (dari Staatsblad 1905 No. 217 juncto. Staatsblad 1906 No 348 menjadi Perppu No. 1 Tahun 1998 yang ditetapkan dengan UU No. 4 Tahun 1998) agar proses pailit terhadap debitur Indonesia oleh kreditur dari luar negeri lebih mudah.

 

Pada masa krisis moneter itu, persoalan banyaknya debitur Indonesia tak mampu bayar hutang adalah karena kondisi kurs rupiah yang melemah begitu drastis. Bayangkan, kata Hikmahanto, jika hutang awalnya bernilai US$ 5000 yang harus dibayar tiap bulannya jika dikalikan kurs awal Rp2500, maka total hutang debitur hanya 12,5 juta. Namun pasca kurs rupiah melemah ke angka Rp10 ribu, maka hutang yang tadinya Rp12,5 juta sontak berubah menjadi Rp50 juta.

 

“Anggaplah pendapatan debitur hanya 30 juta perbulannya, lantas bagaimana ia bisa membayar itu? Karena itulah masa krismon dibuat aturan seperti itu untuk memudahkan pailit debitur. Kondisi inilah yang jauh berbeda dengan kondisi sekarang, jadi masalah kriteria pailit 2 kreditur jatuh tempo tak lagi relevan, terlebih jika CBI ingin diberlakukan,” jelas Hikmahanto.

 

Tags:

Berita Terkait