Revisi UU Pers, Hitung-Hitung Untung dan Rugi
Fokus

Revisi UU Pers, Hitung-Hitung Untung dan Rugi

Revisi UU Pers bagai bom waktu yang tak terdeteksi. Sempat mencuat wacana soal sensor dan bredel hidup kembali. Namun, seiring waktu diskursus tersebut lenyap tersapu waktu. Di kalangan pers sendiri, ada yang ngotot ingin merombaknya, ada yang phobi hasilnya bakal lebih buruk.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Di lain sisi, setelah sekian lama dinanti, RPP Pesangon malah tak jelas nasibnya kapan diketok. Bahkan beleid yang ditolak oleh dua kubu -asosiasi pengusaha maupun serikat pekerja- kembali lagi di meja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Padahal calon aturan ini sudah sempat mampir di Sekretariat Negara (Setneg) -alias tinggal tunggu teken presiden.

 

Sedangkan revisi UU Pers? Pada tahun ini, beleid tersebut memang tak muncul dalam Prolegnas. Namun siapa tahu, ada sebuah langkah gerilya di dalamnya. Mengingat sepak terjang pemerintah -dan parlemen- yang acapkali nglimpe tatkala menggodok aturan, kecemasan kalangan (yang peduli) pers memang kuat beralasan. 

 

Di luar tarik-ulur serta tegang-renggang hasrat untuk merombak atau mempertahankan materi UU ini; di luar berbagai keunggulan dan kekurangannya; UU Pers masih tercatat sebagai sebuah peraturan yang kokoh. Buktinya, di antara UU tentang media dan informasi, UU Pers belum satu pun sejak kelahirannya terjamah oleh terkaman judicial review.

 

Sejumlah sutradara dan sineas muda mengajukan uji materi atas UU Perfilman. Para pegiat sinema tersebut geram atas kinerja dan kewenangan Lembaga Sensor Film. Nasib UU Penyiaran juga sama. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Buntutnya, KPI juga melayangkan sengketa kewenangan lembaga negara melawan Depkominfo. Selama ini, KPI berwenang atas materi siaran dan mantan Departemen Penerangan ini menguasai perizinan.

 

Tags: