Risiko Hukum Belanja Online di Masa Pandemi
Lipsus Lebaran 2020

Risiko Hukum Belanja Online di Masa Pandemi

Bocornya data pribadi konsumen yang marak belakangan ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

“Seperti yang sekarang terjadi yaitu berita pembobolan data pada salah satui platform besar di Indonesia, tentunya ini membuktikan bahwa pengawasan pada sistem perdagangan elektronik masih lemah,” katanya.

Ardiansyah mengingatkan bahwa pemerintah telah menerbitkan PP No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Dalam PP itu ditegaskan bahwa penyelenggara sistem elektronik adalah setiap orang penyelenggara negara, badan usaha dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.

Pasal 24 ayat 3 PP 71/2019 menyatakan, Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melakukan pengamanan terhadap komponen Sistem Elektronik dalam hal terjadi kegagalan atau gangguan sistem yang berdampak serius sebagai akibat perbuatan dari pihak lain terhadap Sistem Elektronik, Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengamankan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan segera melaporkan dalam kesempatan pertama kepada aparat penegak hukum dan Kementerian atau Lembaga terkait.

Lalu, Pasal 26 ayat 1 PP 71/2019 menjelaskan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, keautentikan, keteraksesan, ketersediaan, dan dapat ditelusurinya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pasal 100 PP 71/2019 mengatur mengenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagai alternatif pilihan agar penyelenggara sistem elektronik lebih bertanggung jawab.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ira Aprilianti, mengingatkan bahwa semakin berkembangnya transaksi ekonomi digital di Indonesia perlu dibarengi dengan upaya perlindungan konsumen yang nyata dan tertulis dengan baik dalam bentuk undang-undang. 

Menurutnya, perlindungan konsumen dan data transaksi perlu diperkuat, yaitu dengan merevisi UU Perlindungan Konsumen dan legislasi Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi sehingga benar-benar memastikan konsumen mendapatkan perlindungan yang konsisten untuk transaksi, baik secara langsung maupun daring.

Pada e-commerce, pihak ketiga sebagai penghubung memainkan peran penting dalam menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara pelaku usaha dan konsumen daripada pada transaksi langsung, namun karena UU Perlindungan Konsumen tidak mengakui peran pihak ketiga, maka penting untuk memasukkan peran mereka ke dalam revisi yang akan dilakukan.

Selain mengakui pihak ketiga, revisi UU ini juga perlu mengevaluasi penjualan kembali secara daring, penggunaan internet secara umum, aturan pengumpulan data, ketentuan yang adil untuk kontrak digital, transaksi konsumen dengan konsumen, transaksi lintas negara dan transaksi produk digital seperti perangkat lunak dan media.

“Revisi UU Perlindungan Konsumen harus diselesaikan secepat mungkin agar dapat menjawab pertumbuhan ekonomi digital yang telah melampaui kemampuan kapasitas pemerintah dan desakan masalah yang muncul dari adanya celah hukum dan non-hukum. Panduan internasional dan regional serta praktik terbaik, dari ASEAN dan rekan global lainnya, harus dipertimbangkan saat berkonsultasi dan saat proses perancangan,” ujarnya.

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait