Risiko Jual-Beli Bitcoin Tidak Dijamin Otoritas Manapun
Utama

Risiko Jual-Beli Bitcoin Tidak Dijamin Otoritas Manapun

Bank Indonesia (BI) memperingatkan seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan virtual currency karena sangat beresiko dan sarat spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit

 

Sebelumnya, Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae mengatakan, pada tahun 2017 PPATK telah membentuk divisi (desk) fintech dan cybercrime yang fungsinya melakukan pendalaman dan pengayaan pengetahuan sekaligus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk mengantisipasi risiko-risiko terutama untuk mendukung program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendaaan Terorisme (APU-PPT).

 

“Pertumbuhan fintech yang begitu cepat perlu diantisipasi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan data serta kepentingan nasional terkait pencegahan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan stabilitas sistem keuangan,” kata Dian akhir Desember 2017 kemarin.

 

PPATK intens berkoordinasi dengan kementerian/lembaga teknis seperti BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memitigasi risiko-risiko yang muncul. PPATK berharap potensi besar perdagangan elektronik (e-commerce), peer to peer lending, dan model bisnis lain dari kemungkinan dimanfaatkan pelaku pencucian uang karena ada celah hukum dapat diantisipasi terutama terkait hadirnya komoditas bernama Bitcoin, salah satu mata uang digital (cryptocurrency). PPATK sejak awal 2017 telah mengamati perkembangan Bitcoin untuk melihat titik-titik rawan yang mungkin disalahgunakan.

 

(Baca Juga: BI Ingatkan Masyarakat Risiko Bitcoin)

 

Sepanjang pengamatan yang dilakukan PPATK, lanjut Dian, ada sejumlah titik rawan yang dapat dipakai pelaku untuk melakukan pencucian uang. Baik Bitcoin dan fintech peer to peer lending, keduanya berpotensi dijadikan sarana TPPU dan pendanaan terorisme. Dari hasil identifikasi mengharuskan adanya pengaturan lebih lanjut untuk menjaga dua model bisnis tersebut agar tidak dipakai TPPU dan pendanaan terorisme. Sayangnya, Dian masih belum bisa menjelaskan lebih detil pengaturan seperti apa yang nanti dilakukan.

 

“Kita sedang merumuskan, kami belum bisa publish. Titik-titik rawan sudah kita identifikasi, nanti tinggal regulasi di bagian ini. Kalau seandainya perlu, kita akan keluarkan Peraturan Kepala PPATK. Tapi seandainya cukup, oleh lembaga yang membawahi,” kata Dian.

 

Sementara itu, OJK sejauh ini masih berusaha mencari payung hukum cryptocurrency khususnya Bitcoin lantaran OJK melihat pasar Bitcoin di Indonesia telah terbentuk dan mulai membesar. Direktur Inovasi Keuangan Digital OJK, Fithri Hadi mengatakan, sampai saat ini belum ada satupun regulasi yang tepat untuk dijadikan payung hukum Bitcoin. OJK pun masih kesulitan mendefinisikan Bitcoin itu sendiri apakah alat tukar untuk pembayaran, komoditas, maupun instrumen investasi. Dari ketiga jenis diatas, pihak OJK sementara menyimpulkan Bitcoin bukan termasuk ketiga jenis tersebut.

 

“Sampai sekarang belum ada yang cocok ‘dudukannya’. Ini aset baru dunia digital. Disebut komoditas mereka ngga cocok, Bitcoin ini aset digital yang ada di server. Apakah ini uang? Tidak. Ketiga, apakah produk yang ada di area investasi? Kami tanya ke expert, underlying tidak ada. Jadi, susah memasukan ke dalam tiga jenis tadi,” kata Hadi pertengahan Desember 2017.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait