Rumusan Ne Bis in Idem dalam RKUHP
Kolom

Rumusan Ne Bis in Idem dalam RKUHP

Jika tidak memuat pengecualian, maka aturan ne bis in idem dikuatirkan dapat menghalangi penerapan mekanisme PK, setidaknya dalam praktik.

Bacaan 5 Menit

Menyempurnakan Rumusan Asal

Namun di sisi lain ada pula sarjana yang memandang penting kalimat pembuka dari rumusan ne bis in idem tersebut. Van Hattum menyatakan bahwa kalimat tersebut mengandung arti bahwa membuka kembali suatu putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap harus diizinkan selama ditemukan kesalahan faktual, meski ada larangan penuntutan/peradilan ulang yang diabadikan oleh asas ne bis in idem (Van Hattum, 2012).

Penulis pun berpendapat, jika tidak memuat pengecualian, maka aturan ne bis in idem dikuatirkan dapat menghalangi penerapan mekanisme PK, setidaknya dalam praktik. Sebab ne bis in idem bertujuan melindungi finalitas putusan melalui “larangan pengulangan”, sementara PK dirancang sebagai “pengulangan” dengan membuka kembali putusan final dalam rangka mengoreksi kesalahan putusan yang serius (miscarriage of justice).

Selain itu secara harfiah ne bis in idem (Graaf, 2018) berarti: ne (tidak); bis (prosedur kedua); dan idem (untuk fakta yang sama). Karenanya ne bis in idem kerap dimaknai sebagai “larangan bagi prosedur peradilan kedua” yang lebih luas dari sekedar “larangan bagi penuntutan kedua”. PK perlu dikecualikan dari ne bis in idem karena meski bukan penuntutan kedua namun potensial dikategorikan sebagai prosedur kedua guna memeriksa ulang perkara pidana yang telah diputus melalui sebuah proses peradilan yang sudah final.

Secara universal pun, jika merujuk pada Pasal 14 ayat (7) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diadopsi Sidang Umum PBB pada 1966, ne bis in idem (atau padanannya di sistem common law, double jeopardy) memang dirumuskan sebagai larangan “peradilan” ulang terhadap seseorang yang telah dipidana atau dibebaskan oleh putusan final. Di ayat (6) Pasal yang sama, ICCPR juga mengatur konsep yang mirip dengan PK, yang mengintroduksi keberadaan bukti baru, kesalahan serius dalam putusan, dan saluran untuk mengoreksi putusan final. Konsep setara PK di Pasal 14 ayat (6) ICCPR mendahului ketentuan ne bis in idem di ayat (7), sebagaimana kalimat pembuka yang mendahului dan berlaku sebagai pengecualian atas norma utama ne bis in idem dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP.

Karenanya kalimat pembuka dalam rumusan ne bis in idem sebaiknya dipertahankan, dengan mempertegas bahwa itu adalah pengecualian terhadap PK. Sebab bukan mustahil ketika ada perselisihan tentang penerapan Pasal 134 RKUHP nantinya, rujukan pada doktrin ne bis in idem harus dibuat, di mana secara universal doktrin tersebut condong dimaknai sebagai larangan peradilan ulang, bukan semata penuntutan ulang. Apabila ini terjadi, maka pelaksanaan PK bisa saja terhalang oleh aturan dan penafsiran atas ne bis in idem.

*)Binziad Kadafi, Pengajar STH Indonesia Jentera.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait