RUU Cipta Kerja Potensial Legalkan Pelanggaran Hak Cuti
Berita

RUU Cipta Kerja Potensial Legalkan Pelanggaran Hak Cuti

RUU Cipta Kerja dinilai tidak jelas mengatur ketentuan cuti khusus, seperti cuti haid, cuti melahirkan, cuti kondisi tertentu lainnya. Termasuk tidak menegaskan apakah pekerja yang mengambil hak cutinya itu tetap mendapat upah penuh atau tidak.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Selain itu, ada kasus dimana buruh perempuan yang bekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak, tapi tidak mendapat hak cuti melahirkan. Pengusaha secara sepihak mengakhiri kontrak kerja meskipun buruh tersebut sedang menjalankan hak istirahat setelah melahirkan.

 

“Buruh perempuan yang bekerja secara kontrak selama ini banyak yang tidak mendapat cuti melahirkan. RUU Cipta Kerja justru akan lebih melegalkan pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam pemenuhan hak cuti dan perlindungan upah buruh,” kata Jumisih dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (02/3/2020). Baca Juga: RUU Cipta Kerja di Mata Konsultan Ketenagakerjaan

 

“RUU Cipta Kerja hanya mengakomodir kepentingan pemodal, tapi mengabaikan pemenuhan dan perlindungan hak serta kesejahteraan pekerja. Kita menolak RUU Cipta Kerja karena substansinya merugikan pekerja,” tegasnya.

 

Koordinator Advokasi FBTPI, Gallyta Nur Bawoel menegaskan organisasinya sejak awal mengecam proses penyusunan RUU Cipta Kerja ini karena tertutup dan tidak melibatkan kelompok masyarakat yang terdampak. Dia menjelaskan pihak pemerintah hanya mengajak kalangan serikat buruh untuk mendiskusikan draft RUU Cipta Kerja.

 

Soal pengaturan cuti di RUU Cipta Kerja, Gallyta menilai ketentuannya tidak menjabarkan secara rinci dan jelas. RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 93 UU No.13 Tahun 2003 menjadi abstrak dan tidak menjamin pembayaran upah buruh yang mengambil hak cuti, seperti cuti haid dan melahirkan. ”Norma yang diatur dalam RUU Cipta Kerja ini lebih buruk daripada UU No.13 Tahun 2003,” tegasnya.

 

Sebelumnya, Dirjen PHI dan Jamsos Haiyani Rumondang mengatakan ketentuan mengenai cuti sebagaimana diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 masih tetap berlaku. Menurutnya, pasal mengenai cuti dalam UU No.13 Tahun 2003 tidak masuk dalam aturan yang masuk dalam RUU Cipta Kerja. “Jika aturan itu tidak masuk dalam RUU Cipta Kerja berarti masih berlaku seperti sekarang,” kata dia.

 

Ketua Himpunan  Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida menilai RUU Cipta Kerja tidak banyak mengubah aturan mengenai upah dalam UU No.13 Tahun 2003. Tapi ada perubahan dalam hal fasilitas pemberian upah sebagaimana diatur Pasal 93 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003. “Pekerja yang haid, menikah, menjalankan perintah agama dan lainnya tidak lagi dibayar upahnya, dan harus mengambil cuti tahunan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait