RUU HKPD Dinilai Belum Optimal Hubungkan Keuangan Pusat-Daerah
Terbaru

RUU HKPD Dinilai Belum Optimal Hubungkan Keuangan Pusat-Daerah

Sejumlah ketentuan dalam RUU yang berpotensi mendistorsi perekonomian daerah.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pemerintah bersama Komisi XI DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (RUU HKPD). RUU HKPD diharapkan menyempurnakan dan mengintegrasikan dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Namun dalam penyusunannya, RUU HKPD dinilai belum optimal dan mengandung terobosan fundamental. Bahkan, sejumlah ketentuan dalam RUU ini yang berpotensi mendistorsi perekonomian daerah.

“Komponen pajak utama seperti PPH dan PPN belum dilihat sebagai bagian memperkuat desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Meski melakukan simplifikasi jumlah pajak, tetapi revisi atas UU Pajak dan Retribusi ini masih menyasar pajak-pajak yang selama ini tidak terlalu berdampak besar terhadap PAD,” jelas Direktur Eksekutif KPPOD, Armand Suparman, Senin (8/11).

Dalam kajiannya, KPPOD menyatakan RUU HKPD menghadirkan nuansa reformatif pada praktik pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Nafas perubahan tersebut terjadi atas dasar bahwa perlu dilakukan peninjauan kembali atas sejumlah pasal yang dianggap tidak relevan. Daya dukung terhadap peningkatan PAD dan ekosistem investasi daerah menjadi batu uji atas cita-cita luhur tersebut. Pada umumnya, eksistensi PDRD sebagai budgeter dan regulerend menggerakkan denyut nadi perekonomian lokal kendati masih ditemukan sejumlah kendala pada aras implementasi. 

KPPOD menjelaskan saat ini ruang gerak Pemerintah Daerah (Pemda) dalam mengkreasikan sumber-sumber penerimaan (memperluas basis penerimaan) terbatas pada UU No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Mekanisme range price yang diharapkan menjadi instrumen daya saing perpajakan justru menjadi buah simalakama bagi Pemda. Di satu sisi, Pemda berupaya untuk meningkatkan PAD secara optimal melalui penetapan tarif pada batas maksimal. (Baca: Melihat Upaya Kemenkeu dan PPATK dalam Pemberantasan TPPU dan TPPT)

Lembaga tersebut juga menyampaikan pada sisi lain tarif pajak tersebut kontraproduktif dengan semangat pengaturan pajak dalam menghadirkan iklim investasi yang kondusif. Melihat hal tersebut, reformasi atau reformasi kebijakan fiskal daerah menjadi kebutuhan krusial saat ini guna menyeimbangkan fungsi regulerend dan budgeter PDRD. Pengaturan PDRD yang tidak tepat berpotensi mendistorsi perekonomian daerah dan mengganggu kondusifitas bisnis.

Hal tersebut menyebabkan Wajib Pajak (Orang Pribadi maupun Badan) akan merasa dibebani dengan tarif PDRD yang mencekik. Tarif optimal tersebut belum tentu menghadirkan kebermanfaatan bagi Pemda. Idealnya, reformasi regulasi PDRD semestinya mampu meningkatkan pendapatan daerah dengan memperhatikan kemampuan finansial wajib pajak agar tetap kompetitif sehingga tujuan pembentukan RUU dapat tercapai. Sehingga, ketentuan PDRD dalam RUU ini mengakomodir kepentingan wajib pajak dan bergerak pada tataran ideal tersebut dipertanyakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait