RUU HKPD Dinilai Belum Optimal Hubungkan Keuangan Pusat-Daerah
Terbaru

RUU HKPD Dinilai Belum Optimal Hubungkan Keuangan Pusat-Daerah

Sejumlah ketentuan dalam RUU yang berpotensi mendistorsi perekonomian daerah.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

Wakil Ketua Umum DPN Apindo Suryadi Sasmita mengemukakan bahwa masih sulitnya perizinan yang dikeluarkan untuk pengusaha di daerah. “Otonomi daerah yang diberikan selama ini belum dapat menarik investor lebih banyak selain itu masih banyaknya perda bermasalah di daerah sehingga masing-masing pemda diharapkan bersatu untuk dapat meningkatkan investor-investor baik dalam dan luar negeri,” ungkap Suryadi.

Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyaprathama, juga menambahkan masih banyak keluhan pengusaha terkait aturan yang berbeda di setiap daerah. Siddi mencontohkan terkait pajak film di bioskop, di Jakarta mengenakan tarif 10%, di Bantul 30%, kemudian berbeda dengan daerah lainnya yang menerapkan 20%. Dalam kasus tersebut maka menambah beban administrasi yang ekstra bagi dunia usaha.

Ke depan, harapan Siddi penentuan tarif PDRD harus berbasis kajian, melibatkan stakeholder, dan sesuai peraturan perundang-undangan sehingga dapat meningkatkan sistem investasi dan kemudahan berusaha. Dia mengharapkan RUU HKPD perlu mendorong administrasi pajak dan retribusi daerah yang efektif dan efisien (digitalisasi pelayanan perpajakan) dan yang terakhir pada tataran tindak lanjut di daerah, RUU HKPD juga menjamin proses perancangan perda yang akuntabel dan mendorong terbitnya perda-perda berdaya saing.

Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul menjelaskan RUU HKPD mengandung beberapa perubahan seperti nomenklatur hingga tarif. Misalnya perubahan pajak alat berat, Pajak BBNKB, dan pajak hiburan. “RUU HKPD merupakan reformasi regulasi yang masih berlanjut, dengan tujuan menyatukan benang merah terhadap regulasi selama ini,” terangnya, Senin (8/11).

Dalam keterangan pers DPR RI, Anggota Komisi XI DPR RI Ela Siti Nuryamah mengungkapkan ada beberapa kluster yang menjadi high issued dalam pembahasan RUU HKPD. Untuk itu, Komisi XI DPR RI menjaring aspirasi dan meminta masukan dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, sivitas akademika di Bandung, Jawa Barat.

“Tujuan kami kali ini ke Jawa Barat tidak lain untuk menjaring aspirasi dan meminta masukan dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota terkait RUU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah,” jelas Ela usai pertemuan Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi XI DPR RI dengan perwakilan Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Jabar, dan pemkab/kota, serta akademisi, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (5/11).

Dalam pertemuan tersebut, lanjut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, terungkap beberapa klaster yang menjadi high issued atau isu besar dalam RUU tersebut. Pertama, terkait dengan pajak dan retribusi daerah (PDRB). Kedua, terkait dengan dana transfer ke daerah. Serta optimalisasi belanja daerah, juga dana abadi daerah dan sebagainya yang ada dalam undang-undang sebelumnya, yang dinilai belum tercantum dengan jelas.

Ela menilai, selama ini ia melihat belanja daerah belum maksimal atau belum optimal. Oleh karena itu perlu formulasi ulang aturan-aturan atau undang-undang yang ada tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah ini. Sehingga belanja daerah bisa optimal, dan terjadi pemerataan serta keadilan fiskal, yang pada akhirnya tentu untuk  mensejahterakan seluruh masyarakat termasuk yang berada di desa-desa atau di pelosok negeri.

Tags:

Berita Terkait