Parental leave penting bagi sebuah keluarga. Parental leave dapat menumbuhkan kedekatan antara orang tua dan anak; mempererat ikatan dengan pasangan; mendukung perkembangan anak. Di sisi lain, jumlah cuti yang setara, ikut memastikan pihak istri dan suami punya porsi tugas yang setara dalam merawat anak dan melakukan pekerjaan rumah lain.
Tidak hanya mengurangi risiko ibu mengalami post-partum depression pascamelahirkan, ayah yang mengambil parental leave juga membantu ibu menaikkan karier. Ini penting, mengingat salah satu alasan adanya ketimpangan upah antargender adalah tanggung jawab mengurus anak. Tanggung jawab ini, paling banyak dilimpahkan ke perempuan.
Di Indonesia, jenis cuti ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Namun, laki-laki mendapat jatah cuti melahirkan yang jauh lebih kecil dari perempuan. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perempuan berhak memperoleh istirahat selama total tiga bulan: 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Sementara itu, dalam Pasal 93 ayat (4) laki-laki hanya berhak atas cuti melahirkan selama dua hari.
Orang tua juga berhak atas cuti menikahkan, mengkhitankan, dan membaptis anaknya selama masing-masing dua hari. Jadi, total cuti yang menjadi hak ibu adalah sebanyak tiga bulan dan enam hari, sementara ayah berhak atas cuti sebanyak delapan hari.
Meski dibuat dengan tujuan yang baik, diperlukan pengkajian ulang terhadap RUU KIA, agar sejumlah aspeknya tidak merugikan pihak perempuan. Jika ingin mengurangi stunting serta menyejahterakan ibu dan anak, sejumlah opsi atau program lain yang mendukung dapat dibuat. Jadi, tidak hanya mewajibkan cuti melahirkan selama enam bulan.
“Amanat UUD 45 adalah bahwa setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan tanpa diskriminasi. Oleh karenanya RUU KIA harus pula memperhatikan hal tersebut. Jangan sampai RUU KIA ini sengaja dibuat untuk kemunduran perempuan Indonesia dengan dalih kesejahteraan. Bukan hanya ibu sebagai karyawan yang dirugikan, tapi hal ini bisa berdampak kepada ekonomi makro,” pungkas Christian.
Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Kantor Hukum Yang & Co.