RUU Larangan Minuman Beralkohol Harus Akomodir Budaya Daerah Tertentu
Berita

RUU Larangan Minuman Beralkohol Harus Akomodir Budaya Daerah Tertentu

Kemudian, adanya pertimbangan perihal pengecualian terhadap tempat penjualan yang sudah mendapatkan izin dari pemerintah.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Minuman beralkohol. Foto: RES (Ilustrasi)
Minuman beralkohol. Foto: RES (Ilustrasi)
Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol atau biasa disingkat minol masih dalam tahap harmonisasi di tingkat Panja Badan Legislasi (Baleg). Meski sudah mendengarkan penjelasan dari pihak pengusul, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahteran (F-PKS) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Baleg masih meminta masukan dan berbagai pihak. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Baleg, Firman Subagyo, di Gedung DPR, Kamis (7/5).

RUU Larangan Minol mesti memperhatikan budaya tertentu yang menggunakan minuman beralkohol sebagai ritual. Selain itu, minuman beralkohol di sebagian daerah menjadi budaya, semisal Bali. Meski berjenis tuak, namun minumal beralkohol tersebut sudah mengurat akar dan membudaya. Oleh sebab itu, harus ada pengecualian pemberlakukan UU tersebut di tempat tertentu.

“Harus diakomodir masukan semua pihak, ada wilayah yang kulturnya mereka budaya minum, kemudian kultur wisata seperti di Bali dan Papua juga sama,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu berpandangan, meski banyak pertimbangan dari berbagai aspek mulai budaya, agama dan kesehatan, pembahasan RUU Larangan Minol mesti dilakukan hati-hati. Pasalnya, tak saja menyentuh sektor budaya, namun juga bisnis dan ketenagakerjaan.

“Oleh karena itu, UU berlaku universal untuk menjadikan payung hukum mengacu pada ideologi negara Pancasila untuk mengatur tata kelola pemerintahan, maka harus diakomodir masukan semua pihak,” katanya.

Kendati belum ada kesepakatan judul RUU, namun pengusul sudah menamakan RUU Larangan Minuman Beralkohol. Menurut Firman, bukan tidak mungkin dalam pembahasan nantinya dapat mengubah judul. Pasalnya judul sebuah RUU mewakili isi dari materi muatan rancangan aturan.

“Akan jadi pertimbangan dalam pembahasan apakah RUU itu judulnya tetap seperti itu, apakah akan diubah judulnya menjadi ‘pengaturan’. Tetapi kalau ‘pengaturan’ bukan ‘larangan’, maka mengacu asas ideologi negaranya di mana?” katanya.

Meski belum membaca seluruh naskah akademik RUU tersebut, Firman mengatakan dalam pembahasan bakal banyak yang diperdebatkan kepada pihak pengusul. Misalnya, apakah aturan yang ada belum memenuhi ataukah adanya kekosongan hukum. Yang pasti, pembahasan diprediksi bakal menuai banyak perdebatan.

“Nanti akan kita bahas dalam harmonisasi di tingkat Panja,” imbuh Firman yang juga anggota Komisi IV.

Wakil Ketua Komisi II Khatibul Umam Wiranu berpandangan prinsip dasar mekanisme penjualan minuman berakohol dijual di tempat yang memiliki izin dari pemerintah. Sebaliknya, sebelum adanya Peraturan Menteri Perdagangan No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, remaja dapat dengan mudah mendapatkan minuman keras tersebut di mini market.

“Yang penting kalau minuman beralkohol itu hanya boleh dijual di tempat yang sudah ada perizinannya dari pemerintah. Itu prinsip dasarnya,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat itu berpandangan, banyaknya Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan minuman keras akibat ketidakjelasan aturan yang ada. Padahal sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar, mesti memiliki UU yang menjadi payung hukum pengaturan maupun pembatasan beredarnya minuman beralkohol di tengah masyarakat.

“Tinggal parameternya tentang adanya pengecualian di tempat yang sudah diizinkan, atau kawasan tertentu,” katanya.

Ia menilai ketiadaan payung hukum berdampak munculnya Perda di berbagai daerah. Malahan bukan tidak mungkin dijadikan permainan ilegal oleh oknum tertentu. Ia berpendapat, tempat tertentu yang diperbolehkan menjual minuman beralkohol dengan kadar tertentu antara lain tempat penginapan hotel.

Sedangkan target dari adanya payung hukum tersebut, mencegah terjadinya korban jiwa akibat minuman beralkohol oplosan. Ia menilai sudah terlampau banyak korban minuman beralkohol produksi rumahan maupun home industri.

Sebelumnya, anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan RUU Larangan minol tak saja mengatur minol hasil industri, tetapi juga oplosan. Kendati demikian, RUU Larangan Minol memberikan pengecualian terbatas. Misalnya pada kepentingan adat, ritual, wisatawan, dan farmasi.

“Jadi meskipun larangan, bukan berarti meniadakan minol di negara kita,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (28/4).

Pandangan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menampik kekhawatiran sebagian kalangan terhadap pelarangan penuh terhadap minol. Memang bagi sebagian daerah masih menggunakan minol sebagai ritual adat. Namun demikian, dengan adanya pelarangan Minol nantinya pembelian minol di tempat tertentu mesti menunjukan idetitas dan usia agar lebih terkontrol seperti halnya di kebanyakan negara.
Tags:

Berita Terkait