Pasal berikutnya yang dipersoalkan F-PDIP terkait dengan peran serta masyarakat, yakni Pasal 20 sampai Pasal 22. Dalam pasal ini terlihat bahwa RUU memberikan peran masyarakat yang terlalu besar dan luas. Tjahjo khawatir masyarakat tertentu yang cenderung anarkis dapat menyebabkan kekacauan.
Tidak hanya batang tubuh, bagian penjelasan juga tidak luput dari protes F-PDIP. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan terminologi persenggamaan yang menyimpang. Ketentuan ini, menurut Tjahjo, bertentangan dengan aturan World Health Organization (WHO) tahun 1993. WHO menyatakan homoseksualitas dan lesbian tidak tergolong sebagai penyimpangan.
Penolakan serupa juga datang dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS). Ketua F-PDS Carlo Daniel Kadang mengatakan fraksinya menolak karena menangkap kesan RUU Pornografi disahkan terburu-buru. Padahal, seperti halnya F-PDIP, Carlo mencatat ada amanat Bamus yang belum dirampungkan yakni sosialisasi. Dengan ini kami secara resmi menolak pengesahan RUU ini, tegasnya.
Aksi walk out ternyata tidak hanya dilakukan oleh fraksi, dua anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar juga melakukan hal serupa. Mereka, Ni Nyoman Tisnawati Karna dan Gede Sumarjaya, berpendapat RUU Pornografi belum pantas dijadikan UU. Sumarjaya bahkan mendapat kesan RUU dipaksakan untuk disahkan, karena seingatnya baru tadi malam (29/10) diagendakan akan dibicarakan.
Walaupun diwarnai walk out dan interupsi, RUU Pornografi akhirnya mulus disahkan berdasarkan persetujuan delapan fraksi lainnya.
Ancaman terhadap HAM
Tidak lama setelah pengesahan, dua lembaga yakni Komnas Perempuan dan Elsam langsung menerbitkan siaran pers. Komnas Perempuan menyatakan pengesahan RUU Pornografi terlalu dipaksakan. Baik DPR maupun pemerintah, dinilai Komnas Perempuan telah terjebak dalam politisasi moralitas dan agama.
Komnas Perempuan menyesalkan pengesahan RUU Pornografi siang ini oleh DPR di tengah kontroversi yang masih sangat besar di antara masyarakat tentang perlu atau tidaknya undang-undang ini, demikian bunyi siaran pers Komnas Perempuan.