Saat Corporate Lawyer Bicara Desain Demokrasi di Partai Politik
Utama

Saat Corporate Lawyer Bicara Desain Demokrasi di Partai Politik

Ada baiknya dipikirkan bahwa kepengurusan partai politik dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu komponen kader wakil rakyat, komponen kader pejabat eksekutif, dan komponen pengelola professional.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

“Selama suatu organisasi belum dapat mengatasi krisis dalam pergantian kepemimpinannya, dan belum berhasil meletakan dasar pengaturan yang dapat diakui dan dipercaya oleh anggotanya, maka selama itu pula pelembagaan organisasi tersebut masih bermasalah dan belum dapat dikatakan kuat,” sebagaimana uraian Irvin dalam papernya.

 

Menurut pengamatan Irvin, seringkali timbul kesulitan untuk melakukan pergantian yang tertib dan damai dalam tubuh partai politik. Apalagi jika pergantian itu berkenaan dengan pemimpin yang merupakan pendiri dan berjasa bagi partai politik bersangkutan.

 

“Tak bisa ditampik bahwa elektabilitas sebuah partai politik amat ditentukan oleh figur yang menjadi tokoh utama sebuah partai politik di tingkat pusat,” ujarnya.

 

Oleh karena itu, setiap partai politik mempersonifikasi -jika tidak mau disebut dibayang-bayangi- oleh seorang figur sentral. Biasanya, figur sentral tersebut adalah pendiri atau penyokong modal partai politik. Jika digunakan parameter personalisasi untuk menilai kondisi partai-partai politik di tanah air dewasa ini, tentu banyak sekali partai politik belum melembaga secara “depersonalized”.

 

(Baca: Pentingnya Membentuk Manajemen Koalisi dalam Kabinet Presidensial)

 

Menurut Irvin, personalisasi ataupun oligarki elit dalam kehidupan partai politik memang menjadi ciri khas kehidupan politik Indonesia. Hegemoni otoritas partai masih kental di tangan segelintir orang kuat di partai politik. Pola kepemimpinan ini sulit untuk membuka ruang kebebasan bagi kader di bawah. Kebijakan partai politik bertumpuk pada kekekuasaan elit partai, sehingga sulit untuk diterapkannya sistem otonomi kepartaian.

 

Alhasil, Orientasi utama partai-partai politik adalah sekadar memiliki orang dalam lembaga-lembaga publik (badan perwakilan dan pemerintahan) guna melanggengkan kehendak personal. Hal ini sangat mempengaruhi rekrutmen. Sekadar menemukan orang yang dapat menarik publik tanpa perlu dipertalikan dengan sistem rekruitmen sebagai kader partai. Alhasil, ada kemungkinan orang tersebut tidak paham benar mengenai tugasnya.

 

Menata Ulang

Irvin menyebutkan personalisasi dan oligarki politik di tubuh partai politik bisa saja mengancam demokrasi Indonesia. Hal ini mengingat partai politik yang seharusnya mampu mengakomodir suara rakyat, malah digunakan oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu. Ketiadaan pengaturan menjadi salah satu kelemahan dalam menata demokrasi internal partai politik. Sebab, mekanisme apapun dalam pemilihan ketua partai didelegasikan kepada Anggaran Dasar partai politik yang bersangkutan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait