Saat Ide Pembaharuan Hukum Acara Perdata Diangkat dalam Orasi Prof Efa Laela Fakhriah
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Saat Ide Pembaharuan Hukum Acara Perdata Diangkat dalam Orasi Prof Efa Laela Fakhriah

Terdapat beberapa peraturan yang merupakan ketentuan hukum materiil, tetapi di dalamnya juga mengatur hukum acara.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Guru Besar di bidang Hukum Acara Perdata Universitas Padjajaran, Prof. Efa Laela Fakhriah. Foto: fh.unpad.ac.id
Guru Besar di bidang Hukum Acara Perdata Universitas Padjajaran, Prof. Efa Laela Fakhriah. Foto: fh.unpad.ac.id

Ada kebutuhan yang sifatnya mendesak terkait pembaharuan hukum acara perdata sebagai salah satu rumpun hukum dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini jelas disampaikan secara tersurat dalam dokumen orasi ilmiah pengukuhan jabatan Guru Besar di bidang Hukum Acara Perdata Universitas Padjajaran, Prof. Efa Laela Fakhriah, dalam Sidang Terbuka Komisi Guru Besar Senat Universitas Padjajaran, April 2015 lalu. 

 

“Sampai saat ini pengaturan tentang cara menyelesaikan perkara perdata melalui pengadilan masih didasarkan pada peraturan-peraturan yang merupakan produk pemerintahan kolonial Belanda,” ujar Efa merujuk kepada dua produk hukum Belanda, het Herzienne Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: Stb.1848 no.16,  Stb. 1941 no. 44; dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) atau Reglemen daerah seberang: Stb. 1927 no.227.  

 

Selain kedua instrumen ini, terdapat beberapa peraturan yang merupakan produk hukum nasional tentang cara berperkara di Pengadilan yang tersebar secara parsial di beberapa undang-undang sektoral. Oleh karena itu, Efa berpendapat bahwa Hukum Acara Perdata Indonesia masih bersifat plural. “Hukum Acara Perdata sampai saat ini masih pluralisme sifatnya,” ungkap Efa.

 

Dalam kesempatan tersebut, Efa menyebutkan beberapa contoh undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang tata cara beracara seperti UU Nomor 48 Tahun 2009  tetang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 14 Tahun 1985 jo UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, dan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

 

Tidak hanya itu, menurut Efa bahkan terdapat beberapa peraturan yang merupakan ketentuan hukum materiil tetapi di dalamnya juga mengatur hukum acara sebagai hukum formil. Oleh karena itu, ia menyebutkan bahwa keadaan ini sedikit banyak mempengaruhi pencapaian ketertiban dan kepastian hukum dalam upaya penegakan hukum.

 

Ia mencontohkan pengakuan dokumen atau data elektronik sebagai alat bukti yang sah dan dapat diajukan ke persidangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (UU ITE yang berlaku saat itu adalah masih UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Belum berubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016).

 

Menurut Efa, ketentuan yang mengatur terkait alat bukti elektronik yang akan diajukan ke hadapan pengadilan merupakan substansi hukum formil. Untuk itu jika diatur dalam UU ITE yang merupakan hukum materiil, hal ini tidak mencerminkan kepastian hukum dalam penerapannya apabila suatu hari hakim menangani sengketa perdata dengan menggunakan dokumen elektronik sebagai alat bukti.

 

(Baca: Mengenal Konsep Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat Gagasan Prof Yulia Mirwati)

 

Lebih jauh, Efa mengungkapkan bahwa pengaturan hukum acara yang disisipkan pada hukum materiil bukanlah merupakan hukum acara/hukum formil. Karenanya hakim tidaklah terikat untuk menerima/mengakui dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan. “Seharusnya pengaturan dokumen sebagai alat bukti berada di dalam peraturan hukum acara perdata sebagai hukum formil, sehingga hakim terikat untuk menerima dokumen elektronik dan keluaran komputer lainnya sebagai alat bukti yang sah dipersidangan,” ujarnya.

 

Sifat mengikat dan memaksa (formalisme) dari hukum acara perdata ini perlu untuk menjamin adanya ketertiban dalam pemeriksaan perkara sehingga kedua belah pihak mempunyai kesempatan yang sama untuk membela kepentingan masing-masing. Peraturan yang sifatnya mengikat dan memaksa itu juga perlu untuk menjamin  agar hakim tetap bersifat tidak berat sebelah dalam melakukan pemeriksaan perkara. Sehingga pada akhirnya akan tercapai ketertiban dan kepastian hukum.

 

Bersifat Mengikat

Sebagai hukum formal, hukum acara bersifat mengikat dan harus ditaati oleh semua pihak yang menggunakannya. Menurut Efa, sifat mengikat dari hukum acara  timbul karena memang hukum acara merupakan hukum yang mengatur tentang cara melaksanakan atau menerapkan hukum perdata materil terhadap sengketa-sengketa yang terjadi di masyarakat dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Hukum acara perdata sebagai aturan main (spelregels) untuk melaksanakan hukum perdata materiil, haruslah bersifat formil, resmi, strict, fixed, correct, pasti, dan bersifat imperatif (mengikat/memaksa), sehingga tidak boleh disimpangi oleh hakim dan penegak hukum lainnya.  

 

Namun kenyataannya, dalam praktik seringkali terjadi para penegak hukum melakukan penemuan hukum yang keliru dengan cara mengadopsi hukum acara asing (negara lain) dalam mengajukan gugatan ke pengadilan serta memutus perkara tersebut. Dalam hal ini, Efa berbeda padangan dengan sebagian kalangan yang pernah mengajukan tuntutan perdata yang dikenal dengan actio popularis atau citizen law suit yang tidak ada pengaturannya dalam hukum acara.

 

(Baca: Buah Pemikiran Prof Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen)

 

Menurut Efa, sering terjadi kekeliruan dalam proses penemuan hukum yang belakangan dilakukan oleh para Sarjana Hukum. Hal ini dikarenakan para Sarjana Hukum tersebut tidak disiplin dalam menerapkan metode penemuan hukum yang seharusnya. “Penemuan hukum dalam acara perdata boleh dilakukan, tetapi jangan sampai melanggar atau mengesampingkan teori-teori penemuan hukum yang benar.  Penemuan  hukum  tidak  dapat asal saja dilakukan, melainkan  harus didasarkan pada metode  atau  aturan permainan yang berlaku,” ujar Efa.

 

Untuk itu menurut Efa, ketika para pihak telah menyepakati untuk menyelesaikan sengekta secara litigasi, bukan hanya para pihak dan kuasa hukumnya saja yang terikat pada mekanisme, tata cara, atau peraturan hukum acara perdata, namun juga hakim yang memeriksa perkara. Dengan demikian sifat utama dari hukum acara adalah bersifat mengikat atau memaksa (rigid) bagi orang yang menggunakannya, karenanya tidak dapat disimpangi.

 

Kepastian Hukum

Mengutip Mochtar Kusumaatmadja, Efa menegaskan pentingnya kepastian hukum diterapkan. Tujuan utama hukum yang mana untuk mencapai ketertiban, dalam masyarakat diperlukan adanya kepastian hukum. Di samping ketertiban tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan. Lebih jauh ia menyebutkan bahwa kepastian hukum merupakan suatu kepastian tentang bagaimana peraturan perundang-undangan menyelesaikan masalah-masalah hukum.

 

“Bagaimana peranan dan kegunaan lembaga-lembaga hukum bagi masyarakat. Kepastian hukum juga dapat terwujud dalam keputusan pejabat yang berwenang yang menyangkut peristiwa tertentu. Dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum,” ujar Efa. 

 

Menurut Efa jalan untuk mewujudkan kepastian hukum dapat dibagi menjadi kepastian hukum dari unsur peraturan perundang-undangan, lembaga dan pranata hukum, yang diwujudkan dalam putusan hakim. Untuk terciptanya kepastian hukum, syarat yang penting untuk dipenuhi adalah adanya hukum atau peraturan perundang-undangan yang jelas. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini terkadang multitafsir. Keadaan ini mengharuskan badan-badan peradilan (hakim) untuk melakukan tindakan tindakan guna mencapai keadilan.

 

“Untuk itu hakim dapat melakukan pembentukan hukum seperti melakukan penafsiran, konstruksi hukum, dalam rangka `menemukan hukum untuk terciptanya keapstian hukum,” ujarnya.

 

Doktrin kepastian hukum yang merupakan salah satu faktor dalam penegakan hukum, di samping keadilan dan kemanfaatan yang merupakan salah satu unsur untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Dalam menegakan hukum ketiga unsur ini harus selalu harus diperhatikan, yaitu:  kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).

 

Lewat kepastian hukum seseorang akan terhindar dari tindakan sewenang-wenang. Sementara masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Kemudian dalam pelaksanaan atau penegakannya, hukum harus adil.

 

Pembaharuan Hukum Acara Perdata 

Pembaruan hukum acara perdata, yang tidak lain merupakan hukum formal dengan fungsi untuk menerapkan hukum materiil ke dalam peristiwa konkrit yang terjadi di masyarakat, sangatlah diperlukan dewasa ini. Hal ini mengingat semakin pesatnya perkembangan dan pembaruan hukum materiil dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara parsial sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, guna mengatur hubungan hukum keperdataan yang semakin berkembang dan beragam seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

 

Menurut Efa, seringkali peraturan perundangan yang baru dibentuk juga mengatur tentang hukum acaranya apabila kelak terjadi sengketa, sekalipun pada dasarnya tetap bersumber pada HIR/RBg sebagai hukum acara perdata positif. Hal ini menunjukkan bahwa dewasa ini peraturan tentang acara perdata tidak terkodifikasi. Karena hukum acara perdata mempunyai sifat publik dan mengikat secara umum, maka untuk tercapainya kepastian hukum oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa perdata melalui pengadilan.

 

”Serta untuk terwujudnya ketertiban hukum dalam rangka penegakan hukum, diperlukan adanya suatu peraturan tentang acara perdata yang terkodifikasi. Karenanya diperlukan adanya upaya pembaruan hukum acara perdata yang sekarang berlaku secara nasional,” ungkap Efa.

 

Upaya untuk mewujudkan keinginan membentuk hukum acara perdata nasional sudah sejak lama dilakukan, namun pembentukannya dilakukan secara parsial dan tidak menyeluruh. Sejak 1947 dengan dibentuknya Undang-undang No.20 Tahun 1947 Tentang Acara Banding, Undang-undang yang mengatur tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tentang Mahkamah Agung, tentang Peradilan Umum, tentang Pengadilan Agama, tentang Pengadilan Niaga, tentang Dokumen Perusahaan, dan juga Undang-Undang ITE . Namun bukan dalam bentuk peraturan tentang acara perdata secara menyeluruh (Hukum Acara Perdata Nasional) yang sifatnya unifikasi dan kodifikasi.

 

Ia menunjuk Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan dan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, merupakan contoh dari hukum materiil yang di dalamnya mengatur juga hukum formal, yaitu pengaturan mengenai bukti elektronik. UU Dokumen Perusahaan menetapkan bahwa dokumen perusahaan yang direkam dalam mikro film dan sarana elektronik sebagai media penyimpanan dokumen diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik, sedangkan UU ITE menetapkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah.

 

“Kesemuanya seyogyanya diatur dalam Hukum Acara Perdata sebagai hukum formil,” ujar Efa.

 

Untuk itu, Efa menilai pengesahan Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata yang sudah ada selama ini menjadi undang-undang, sebagai upaya pembaruan hukum acara perdata nasional, sangat diperlukan terutama untuk kepentingan praktik peradilan guna menunjang tercapainya kepastian hukum dan ketertiban hukum.

 

“Oleh karena itu pengesahan Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata menjadi Undang Undang Acara Perdata merupakan suatu keniscayaan dalam penegakan hukum menuju ketertiban hukum,” pungkas Efa.  

 

Tags:

Berita Terkait