Sanksi Penjara Masih Relevan untuk Pencemaran Nama Baik
Utama

Sanksi Penjara Masih Relevan untuk Pencemaran Nama Baik

Banyaknya negara yang sudah meninggalkan sanksi penjara bagi pelaku pencemaran nama baik tak membuat MK bergeming. Setiap negara punya kultur budaya masing-masing.

Oleh:
Ali/Mys
Bacaan 2 Menit

 

Hatzaai Artikelen Berlaku

Selain menolak permohonan pemohon yang menggugat ketentuan sanksi pidana penjara dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, mahkamah juga menolak upaya pemohon yang menggugat sisa Pasal hatzaai artikelen (penebar kebencian) dalam KUHP. Berbeda dengan pasal-pasal hatzaai artikelen yang sudah ‘dibatalkan' oleh MK, Pasal 207 masih kokoh berdiri.

 

Pasal 207 merupakan pasal yang sempat membawa Bersihar ke Pengadilan Negeri Depok karena ia dianggap menghina institusi Kejaksaan dalam tulisannya di koran Tempo. Isi pasal itu adalah ‘Barangsiapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan dan tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah'. 

 

Mahkamah memiliki pertimbangan kuat untuk tetap mempertahankan pasal itu dalam KUHP. Hakim Palguna mengatakan pejabat publik yang menjalankan tugas memang patut dilindungi. Perlunya perlindungan tersendiri terhadap pejabat publik yang sedang menjalankan tugas karena di dalam jabatan yang dimaksud terkandung di samping unsur subjektif pribadi pejabatnya, juga melekat unsur objektif institusinya yang membutuhkan kredibilitas, kewibawaan, dan kapabilitas agar efektif dalam menjalankan tugas publiknya, tegasnya.

 

Kuasa Hukum Bersihar, Anggara mempertanyakan argumentasi MK. Apakah kritikan yang disampaikan kepada pejabat publik bisa menghambat tata kelola pemerintahan yang baik ata menghambat penanganan korupsi? tanyanya.

 

Anggara juga menyangkan tak dipertimbangkannya cantelan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang diajukan. Pasal tersebut berbicara bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Karena mereka pejabat yang dipilih baik langsung maupun tidak langsung oleh rakyat, maka rakyat berhak mengkritik, ujarnya. Namun, dalam praktek, kritikan acapkali disamakan dengan penghinaan sehingga si pemberi kritik dijerat Pasal 207 itu.

 

Bersihar menganggap aneh putusan MK. Di satu sisi, MK membatalkan pasal-pasal penghinaan kepada kepala negara, tetapi di sisi lain enggan membatalkan pasal sejenis yang ditujukan kepada penguasa. Seolah-olah penguasa lebih tinggi dari presiden, padahal mestinya sederajat di mata hukum.

 

Putusan MK membawa implikasi pada disfungsi Dewan Pers. Sebab, orang yang merasa dicemarkan nama baiknya akan lebih memilih mengajukan perkara pidana atau perdata ke pengadilan. Bersihar berharap DPR bersedia menghapus pasal-pasal penghinaan tersebut dalam revisi KUHP kelak.

 

Tags: