Saran Busyro Muqoddas untuk Revisi UU Terorisme
Berita

Saran Busyro Muqoddas untuk Revisi UU Terorisme

Pelibatan TNI sebatas tugas perbantuan. Kalau terlibat terlalu jauh bisa merusak sistem peradilan pidana.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Polisi menangani aksi terorisme di kawasan Sarinah, Januari 2016. Foto: RES
Polisi menangani aksi terorisme di kawasan Sarinah, Januari 2016. Foto: RES
Ketua PP Muhammadiyah, H.M Busyro Muqoddas, berharap Pemerintah dan DPR cermat dalam menyusun revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jangan sampai terorisme digunakan sebagai dalih untuk melakukan kesalahan yang pernah terjadi pada masa Orde Baru, seperti kriminalisasi kelompok tertentu yang tidak diinginkan Pemerintah. Bagaimanapun, kata mantan komisioner KPK itu, pemberantasan terorisme harus tunduk pada konstitusi dan perundang-undangan Indonesia.

Busyro menyarankan Pemerintah dan DPR transparan dalam menangani terorisme. Dalam konteks itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap kerja-kerja pemberantasan terorisme yang selama ini dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Mabes Polri. Transparansi penting mengingat kemungkinan salah dalam penanganan. Bagaimana misalnya jika militer yang terlibat dalam pemberantasan terorisme melakukan tindak pidana? Sistem hukum Indonesia belum sepenuhnya memungkinkan militer diadili di peradilan umum. Artinya, penanganannya tidak akan terbuka.

Menurut Busyro, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme berpeluang menimbulkan masalah baru. Karena itu, kecermatan pembentuk undang-undang jadi penting. “Kami sepakat pembahasan revisi UU Terorisme jangan terburu-buru dan jangan dipaksakan untuk segera terbit, Pemerintah dan DPR harus cermat,” urai Busyro.

Pemerintah dan DPR memang sudah sepakat merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberhasilan aparat menembak mati Santoso dalam operasi Tinombala ikut memperkuat urgensi revisi tersebut.

Namun dalam proses pembahasan ada masukan dan kritik yang disampaikan terhadap materi muatan revisi. Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf berpendapat pelibatan TNI secara aktif dalam mengatasi terorisme keliru. Pelibatan TNI dimungkinkan, tapi dalam kerangka tugas perbantuan kepada Polri. “Perbantuan TNI kepada Polri dalam menangani terorisme adalah bagian dari tugas operasi militer selain perang sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004  tentang Tentara Nasional Indonesia,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (25/07).

Perbantuan TNI untuk Polri menurut Al harus dijadikan pilihan terakhir. Itu pun perlu memenuhi sejumlah syarat yakni ada permintaan dari institusi kepolisian dan berdasarkan keputusan politik dari Presiden.

Al melihat draft revisi UU Terorisme yang dibahas pansus di DPR berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya, dalam Pasal 43 A ayat (3) RUU disebutkan kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme mencakup aspek pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, penyiapan kesiapsiagaan nasional. Itu menunjukan ruang lingkup yang sangat luas dalam penanggulangan terorisme dan klausul pelibatan TNI tidak ketat.

Menurut Al tidak tepat jika TNI dilibatkan secara aktif memberantas terorisme karena militer bukan aparat penegak hukum. UU TNI sudah jelas mengatur pelibatan TNI dalam operasi selain perang, diantaranya mengatasi aksi terorisme. “Memasukan TNI dalam UU Terorisme akan merusak sistem peradilan pidana,” ujarnya.

Direktur Pusat Kajian Keamanan Migrasi dan Perbatasan (PK2MP), Mufti Makarim, menegaskan ada dua tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam UU TNI yaitu melakukan operasi militer untuk perang dan selain perang. Ada tiga kategori operasi selain perang yakni keamanan, kemanusiaan dan perdamaian. Operasi militer selain perang sifatnya sementara dan tidak permanen, itu juga tergantung keputusan politik Presiden dan DPR.

Mufti menilai pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme masuk kategori operasi selain perang. Oleh karenanya pelibatan TNI itu sifatnya tidak permanen. Jika pelibatan TNI dalam penanganan terorisme itu permanen maka tidak selaras dengan ketentuan yang telah diatur dalam UU TNI. “UU Terorisme itu landasannya penegakan hukum, TNI bukan aparat penegak hukum, itu harus jadi perhatian serius DPR dan pemerintah,” tegasnya.

Selain itu Mufti mengusulkan sebelum merevisi UU Terorisme, lebih baik pemerintah dan DPR mengevaluasi penanganan tindak pidana terorisme yang selama ini dikerjakan BNPT dan Detasemen Khusus 88 Antiteror. “Semangat penanganan terorisme itu harus mengutamakan kepentingan rakyat, tidak boleh ada pelanggaran HAM untuk melindungi HAM,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait