Sebulan Anies-Sandi, LBH Jakarta Sampaikan Tiga Catatan
Berita

Sebulan Anies-Sandi, LBH Jakarta Sampaikan Tiga Catatan

Tidak tegas terhadap penghentian reklamasi teluk Jakarta, penggusuran paksa, dan belum optimal mendamaikan warga Jakarta yang terbelah ketika Pilkada.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Demo tolak reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES
Demo tolak reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES

Sudah lebih sebulan Jakarta dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Gubernur Anis Rasyid Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Salahuddin Uno. LBH Jakarta bersama jaringannya mengajak seluruh warga Jakarta untuk mengawasi dan mengkritisi segala kebijakan yang diterbitkan pemerintah provinsi Jakarta dengan landasan HAM. Warga Jakarta perlu dilibatkan dalam membuat kebijakan.

 

Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, sedikitnya punya 3 catatan terhadap kebijakan pemerintah daerah provinsi Jakarta dalam sebulan terakhir. Pertama, belum ada ketegasan terkait janji kampanye untuk menghentikan reklamasi. Bahkan dia melihat ada indikasi ‘tawar-menawar’ yang ujungnya moderasi tuntutan masyarakat. Itu terlihat dari usulan pendukung Anies yang menyebut pulau yang sudah terbit izinnya dibiarkan. Padahal, izin itu mestinya dicabut sebagaimana ide yang diusung pasangan Anies-Sandi ketika kampanye.

 

Kedua, pemerintah provinsi Jakarta belum memberi perlindungan terhadap warganya. Seperti kasus kekerasan yang menimpa warga di pulau Pari, Kepulauan Seribu dan penggusuran paksa di Cideng, kawasan banjir kanal barat beberapa waktu lalu. Alghif berpendapat ada pengembangan bisnis di sekitar pulau seribu yang berdampak negatif bagi masyarakat, terutama yang berprofesi sebagai nelayan. Itu terbukti dari kekerasan yang menimpa warga di pulau Pari. Dalam peristiwa itu diduga terjadi pemukulan oleh aparat keamanan terhadap warga yang menolak pemasangan plang bertuliskan ‘milik perusahaan.’

 

(Baca juga: Berbincang tentang Hukum Bersama Gubernur Anies Baswedan: Hukum Harus Realistis)

 

Kehadiran bisnis perusahaan di kawasan Kepulauan Seribu itu menurut Alghif bukan hanya mengancam kehidupan nelayan tapi juga usaha mandiri warga di bidang pariwisata. “Saat kampanye Anis pernah menyebut akan berkantor di Kepulauan Seribu. Sayangnya sebulan dia memimpin Jakarta belum ada perlindungan oleh pemerintah provinsi bagi warga di sana,” katanya di Jakarta, Selasa (21/11).

 

Alghif mengingatkan sewaktu kampanye Anies-Sandi punya ide untuk melakukan penataan kota dengan memperhatikan hak warga negara. Sekalipun warga tersebut menempati lokasi yang bukan miliknya secara legal formal. Dalam melakukan penataan kota, Alghif menekankan pemerintah telah meratifikasi Kovenan Hak Ekosob lewat UU No.11 Tahun 2005. Kovenan itu mengamanatkan pemerintah untuk bertanggung jawab untuk menjamin warga negara tidak kehilangan tempat tinggal dan tidak berkurang kualitas hidupnya dan keluarganya.

 

Komentar Umum Kovenan Ekosob pada bagian Penggusuran Paksa, dan Tempat Tinggal yang Layak, kata Alghif, menjelaskan penggusuran tidak boleh menyebabkan warga terdampak menjadi tidak memiliki tempat tinggal. Berbagai aturan itu harus dipatuhi pemerintah provinsi Jakarta dalam melakukan penggusuran. “Sikap Pemprov DKI Jakarta yang tidak peduli nasib warga pasca penggusuran merupakan bentuk pengabaian terhadap kewajibannya menjamin kesejahteraan warganya,” tukasnya.

 

Menurut Alghif ada praktik yang patut ditiru oleh Anies-Sandi dalam melakukan penggusuran di Jakarta. Misalnya, dalam kasus penolakan warga Petukangan, Jakarta Selatan, terhadap penggusuran yang dilakukan pemerintah provinsi Jakarta untuk membangun jalan tol ke bandara Soekarno-Hatta. Kemudian warga menggugatnya ke pengadilan dan menang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait