Sejumlah Alasan Keberatan atas Usulan Moratorium PKPU dan Kepailitan
Terbaru

Sejumlah Alasan Keberatan atas Usulan Moratorium PKPU dan Kepailitan

“Jangan kita membuat sesuatu yang tidak bisa dijalankan yang pada akhirnya membawa mudharat yang lebih besar daripada manfaatnya.”

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 6 Menit

Meskipun pada beberapa sisi UU Kepailitan memiliki kelemahan, tapi moratorium bukan jalan keluar yang tepat. Salah satunya persoalan yang saat ini tengah menjadi pembahasan di kalangan kurator dan pengurus adalah posisi kreditur yang bisa mengajukan PKPU dan pailit. Dari ratusan perkara PKPU dan palit yang masuk ke pengadilan niaga, 95 persen dimohonkan oleh kreditur.

Jika pemerintah berupaya menekan moral hazard, maka aturan ini dimungkinkan diatur dalam Perppu. Hanya saja pemerintah harus melihat persoalan ini dari dua sisi baik itu debitur maupun kreditur. Menurut Jimmy, baik debitur maupun kreditur memiliki celah untuk berbuat curang. Banyak debitur (perusahaan) yang juga memiliki iktikad tidak baik dalam melaksanakan kewajibannya.

“Sehingga aturan yang hanya memberi kesempatan kepada debitur untuk mengajukan PKPU harus dipahami dengan baik oleh debitur. Dalam posisi ini debitur harus bisa bertanggung jawab dengan membuat proposal perdamaian yang baik dan bisa diterima oleh kreditur."

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) Airlangga Hartanto mengakui pemerintah melihat adanya moral hazard dalam proses pengajuan PKPU dan palit di masa pandemi. Mudahnya persyaratan yang diatur dalam UU Kepailitan untuk mengajukan permohonan PKPU dan pailit menjadi salah satu sebab meningkatkan kasus PKPU dan pailit saat pandemi.

Terkait masukan moratorium PKPU dan pailit, Airlangga mengaku saat ini pemerintah sudah melakukan pembahasan dan mengkaji kemungkinan tersebut untuk mencegah terjadinya moral hazard. Apalagi langkah hukum lewat penyelesaian PKPU dan pailit ini menjadi bagian dari penilaian EoDB yang saat ini tengah difokuskan pemerintah.

“Pemerintah melihat melihat plus minus, kalau moratorium ada badlock pasca pandemi dan sekarang sudah berproses. Pemerintah ingin mencegah moral hazard, ini harus dilakukan. Dan proses restructuring saat ini merupakan hasil dari krisis moneter tahun 1998 lalu dimana banyak usaha dilakukan PKPU dan pailit massal. Ini juga bagian dari EoDB, dan pemerintah sedang mengkaji terkait hal tersebut. Karena PKPU dan pailit ini bukan hanya debitur yang bisa memanfaatkan, tapi kreditur juga sebagai bagian dari coorporate action,” kata Airlangga dalam Rakerkonas Apindo ke-31 secara daring, Selasa (24/8/2021) kemarin.

Airlangga mengatakan aturan restrukturisasi kredit usaha tidak bisa langsung diperpanjang tiga tahun karena pandemi Covid-19 diperkirakan dapat tertangani dalam satu tahun ke depan. Perkiraan ini didasarkan pada asumsi varian Covid-19 yang baru tidak lagi muncul. Dengan kemunculan Covid-19 varian delta, berbagai negara mengalami gelombang kedua dan ketiga kasus Covid-19 meski mulai kembali pulih.

“Kalau kita lihat pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2021, hampir sebagian besar negara sudah recover, jadi untuk perpanjangan tiga tahun ini kelihatannya tidak memungkinkan,” kata Airlangga.

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.48 Tahun 2020, pemerintah memperpanjang restrukturisasi kredit usaha sampai 31 Maret 2022 dari sebelumnya hanya sampai 31 Maret 2021. Menurut Airlangga, restrukturisasi kredit usaha hanya diperpanjang satu tahun dengan pertimbangan pandemi Covid-19 sudah tertangani dalam setahun ke depan.

Saat ini, pemerintah pun telah meminta OJK memperpanjang restrukturisasi kredit sampai 31 Maret 2023 mendatang. Ia mengatakan kredit usaha yang berorientasi ekspor akan diprioritaskan untuk bisa direstrukturisasi. Apabila orientasinya ekspor tentu akan diberi prioritas, dan pemerintah sudah memberi jaminan kepada perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait