Sejumlah Alasan Keppres Remisi Mesti Direvisi
Utama

Sejumlah Alasan Keppres Remisi Mesti Direvisi

Karena dianggap mengubah konsep remisi dari pengurangan masa menjalani pidana menjadi perubahan pidana yang bertentangan dengan tiga peraturan yakni UU Pemasyarakatan; PP No.32 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi PP No.99 Tahun 2012; dan UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Staf pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti melihat penilaian memberikan remisi terhadap terpidana ini tidak dilakukan secara mendalam. Pasal 34 PP No.99 Tahun 2012 mengatur syarat narapidana dan anak pidana yang berhak mendapat remisi yakni berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan.

 

Bivitri menekankan penting untuk melihat perkara apa yang menjerat terpidana dan bagaimana dampaknya terhadap kepentingan masyarakat. Akibatnya, tak jarang pemberian remisi kerap menuai kontroversi di masyarkat. Misalnya, ada narapidana kasus korupsi kelas kakap yang bebas atau mendapat pengurangan hukuman secara signifikan.

 

Karena itu, Bivitri mengusulkan Keppres No.174 Tahun 1999 dan peraturan terkait remisi untuk direvisi. Selain itu, proses pemberian remisi perlu melibatkan pihak terkait agar tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Salah satu alasan penting revisi itu, menurut Bivitri agar remisi tidak menjadi alat impunitas dan komoditas tindakan korupsi. “Misalnya, melibatkan KPK jika rencana remisi itu akan diberikan pada narapidana kasus korupsi,” kata dia mencontohkan.

 

Ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyoroti sistem remisi seolah hanya kepentingan antara pemerintah dan narapidana. Selain itu, proses pemberian remisi selama ini tidak transparan, sehingga sulit dipantau. Bahkan, dari pengalamannya narapidana yang mau mengurus remisi harus menyiapkan sejumlah biaya. “Remisi itu seperti berada di ruang gelap, tidak ada akses bagi masyarakat untuk mengontrol,” bebernya.

 

Fickar berpendapat pelaksanaan remisi sering keliru diartikan sebagai perubahan hukuman. Padahal, seharusnya remisi hanya diartikan pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana. Sebab, perubahan hukuman merupakan ranah yudikatif yang tidak bisa diubah oleh kekuasaan eksekutif.

 

Misalnya, hukuman seumur hidup, putusan ini tidak bisa diubah, kecuali oleh pengadilan. Merujuk konstitusi, eksekutif hanya berwenang memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Kemudian memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

 

Kasus Pembunuhan Jurnalis

Direktur Puskapsi Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono mencatat belum lama ini kelompok jurnalis di Bali menyatakan keberatan atas remisi yang diberikan Presiden kepada I Nyoman Susrama. Merujuk Pasal 77 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Presiden selaku pejabat pemerintah yang membuat keputusan wajib menyelesaikannya.

Tags:

Berita Terkait