Sejumlah Catatan KPA Atas Rancangan Perpres Reforma Agraria
Terbaru

Sejumlah Catatan KPA Atas Rancangan Perpres Reforma Agraria

KPA mendesak pemerintah segera menghentikan pembahasan RPerpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Revisi Perpres No.86 Tahun 2018 harus berpedoman pada UUD NKRI Tahun 1945 dan UU No.5 Tahun 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Foto: Istimewa
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Foto: Istimewa

Sertifikasi tanah melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) selama ini diklaim pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN sebagai salah satu pelaksanaan reforma agraria. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, melihat pandangan tersebut juga ada dalam rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang ditujukan untuk mengganti Perpres No.86 Tahun 2018 dan Perpres No.88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Dewi mengingatkan sertifikasi tanah biasa (non reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang memiliki tanah dan haknya itu belum dilakukan proses administrasi oleh BPN. Sertifikasi tanah bukan upaya koreksi terhadap struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik seperti petani gurem, buruh tani, rakyat miskin tak bertanah.

Sertifikasi tanah juga bukan pemulihan hak korban perampasan tanah yang dimaksudkan oleh agenda reforma agraria. Legalisasi aset yang kemudian diterjemahkan menjadi kegiatan PTSL tidak bisa serta merta disebut reforma agraria. “Penguatan hak (pensertifikatan) hanya tahap akhir atau pelengkap pasca penataan-ulang (reform), redistribusi tanah dan penyelesaian konflik,” kata Dewi dikonfirmasi, Selasa (8/11/2022).

Selama ini gerakan reforma agraria dan pakar hukum agraria mengkritik keras penyempitan reforma agraria hanya menjadi program sertifikasi tanah. Sayangnya, RPerpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang pembahasannya tidak melibatkan gerakan reforma agraria, justru meneruskan kesalahan yang berlangsung setidaknya 8 tahun terakhir itu. Dimana capaian 9 juta hektar reforma agraria dicampur dengan kegiatan administrasi pertanahan biasa. Pemerintah harus belajar dari praktik reforma agraria negara lain untuk membedakan sertifikasi tanah dengan reforma agraria.

Menurut Dewi, hal tersebut menunjukan pemerintah menggunakan pendekatan asset reform dan access reform yang mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang menganut liberalisasi pasar tanah. Tanah diposisikan sebagai barang komoditas/ekonomi (asset) saja. Paradigma sesat ini dipertahankan dalam RPerpres. Padahal tanah adalah kekuatan (modal) sosial, ekonomi, budaya, religi rakyat Indonesia. Tanah dan sumber agraria lainnya adalah kekuatan politik atas kedaulatan bangsa yang tidak boleh dikuasai modal dan badan usaha asing sebagaimana mandat UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Dewi juga mencatat dalam RPerpres tidak ada subjek prioritas reforma agraria. Padahal, subjek prioritas itu penting untuk memastikan pelaksanaan reforma agraria yang dinikmati oleh rakyat yang berhak, dan bebas dari penumpang gelap dan mafia tanah. RPerpres sudah mengakomodir tuntutan koalisi untuk menghapus TNI, Polri, dan PNS sebagai subjek reforma agraria. Subjek reforma agraria yakni “orang-perseorangan” sebagaimana diatur RPerpres tidak detail menyebut kriteria yang adil secara sosial, ekonomi, dan gender. Termasuk penekanan aspek masyarakat yang sudah menguasai dan menggarap tanah dengan iktikad baik.

Kewenangan Menko Perekonomian menentukan jenis pekerjaan lain yang dapat menjadi subjek reforma agraria menurut Dewi merupakan celah konflik kepentingan dan dapat dimanfaatkan para penumpang gelap (free riders) dan mafia tanah untuk masuk menjadi subjek reforma agraria. Kasus penumpang gelap marak terjadi di lapangan, bahkan difasilitasi sendiri oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

Dewi mendesak pemerintah segera menghentikan pembahasan RPerpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Revisi Perpres No.86 Tahun 2018 harus berpedoman pada UUD NKRI Tahun 1945 dan UU No.5 Tahun 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional.

Proses perumusan RPerpres harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres No.86 Tahun 2018 yang selama ini dituntut dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif, setara, dan substantial. Sekaligus menjamin transparansi proses perumusan yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian BUMN, Kemendagri, Kementerian Desa dan K/L lainnya, termasuk POLRI dan TNI.

Tags:

Berita Terkait