Sejumlah Faktor yang Memicu Terjadinya Praktik Penyiksaan
Terbaru

Sejumlah Faktor yang Memicu Terjadinya Praktik Penyiksaan

Imparsial mencatat periode 2016-2020 ada 79 kasus penyiksaan. Beberapa hal untuk mencegah praktik penyiksaan yakni kebijakan Kapolri menerbitkan petunjuk teknis Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM; mendorong revisi KUHAP dan ratifikasi OPCAT; serta penguatan lembaga pengawas internal dan eksternal.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi korban penyiksaan. HGW
Ilustrasi korban penyiksaan. HGW

Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan (CAT) melalui UU No.5 Tahun 1998. Meski telah meratifikasi konvensi tersebut, praktik kekerasan masih kerap terjadi di Indonesia, termasuk dalam proses penegakan hukum. Tim Pemantauan Penyiksaan Imparsial, Gading Yonggar Ditya, mengatakan ada peraturan lain yang mengatur tentang anti penyiksaan seperti UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. 

Kendati sudah banyak peraturan anti penyiksaan, tapi Yonggar mencatat penyiksaan masih terus terjadi. Imparsial mencatat periode 2016-2020 sedikitnya ada 79 kasus penyiksaan yang diperoleh dari pemantauan media. Penyiksaan banyak terjadi pada institusi kepolisian, terutama di tingkat polres. Praktik penyiksaan juga dilakukan TNI dan terjadi juga di lapas. Pola penyiksaan dilakukan dengan cara dipukul/ditendang (57 kasus), dicambuk (11 kasus), dan diancam atau ditodong senjata (6 kasus).

“Tujuan penyiksaan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang tersebut atau dari orang ketiga,” kata Gading dalam diskusi publik secara daring bertema “Penegakan Hukum dalam Bayang-Bayang Penyiksaan”, Jumat (25/6/2021). (Baca Juga: Penyiksaan Saat Penyidikan Justru Menguntungkan Orang Bersalah)  

Gading mencatat ada faktor internal dan eksternal yang memicu terjadinya praktik penyiksaan. Pertama, tidak adanya diseminasi berkala dan evaluasi terhadap Peraturan Kapolri itu sampai ke level terendah dan tidak ada aturan turunannya. Proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak mengakomodir standar HAM rentan terjadi salah tangkap dan tuduhan palsu.

Selain itu, tidak ada reformasi kultural terutama di tubuh Polri, sehingga menyebabkan impunitas dan kekerasan terus terjadi. Lemahnya pengawasan internal baik oleh Propam, Wassidik dan Irwasum. Kemudian minimnya infrastruktur pengawasan, seperti body camera, kamera ruangan, dan ruang interogasi, serta penahanan khusus berkamera. Minimnya kompetensi penyidik juga menjadi penyebab terjadinya praktik penyiksaan.

Kedua, faktor eksternal, Gading mengatakan sampai saat ini pemerintah belum meratifikasi protokol opsional konvensi anti kekerasan (OPCAT). Sanksi penyiksaan juga belum masuk dalam KUHP. Tidak ada lembaga independen yang dapat melakukan pengawasan dengan kuat. Tidak ada definisi tunggal terkait penyiksaan, sehingga tidak selaras dengan CAT.

“Masih ada celah dalam KUHAP yang membuka peluang penyidik melakukan penyiksaan, misalnya terkait lama penahanan, penahanan dalam kantor kepolisian, dan tidak ada jaminan bebas dari penyiksaan,” bebernya.

Tags:

Berita Terkait