Sejumlah Faktor yang Memicu Terjadinya Praktik Penyiksaan
Terbaru

Sejumlah Faktor yang Memicu Terjadinya Praktik Penyiksaan

Imparsial mencatat periode 2016-2020 ada 79 kasus penyiksaan. Beberapa hal untuk mencegah praktik penyiksaan yakni kebijakan Kapolri menerbitkan petunjuk teknis Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM; mendorong revisi KUHAP dan ratifikasi OPCAT; serta penguatan lembaga pengawas internal dan eksternal.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Gading mengusulkan beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya praktik penyiksaan yakni kebijakan Kapolri untuk menerbitkan petunjuk teknis Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM. Selain itu, mendorong revisi KUHAP dan ratifikasi OPCAT, serta penguatan lembaga pengawas internal dan eksternal.

Advokat Publik PBHI, Ghina Sabrina, mengatakan pendampingan terhadap korban penyiksaan membutuhkan waktu lama. Misalnya, salah satu kasus penyiksaan yang didampingi PBHI yang dialami Iwan Mulyadi. Dia ditembak dalam proses penyelidikan atas dugaan tindak pidana. Tembakan yang diletupkan petugas mengenai rusuk kanan, sehingga lumpuh permanen. Pelaku dijatuhi pidana penjara 1 tahun dan tidak dipecat dari institusi kepolisian.

“Ini bentuk impunitas dan memicu berulangnya praktik penyiksaan karena hukuman yang dijatuhkan tidak membuatnya dipecat dari kepolisian,” ungkapnya.

Bersama PBHI, Iwan mengajukan gugatan ganti rugi dan putusannya menang sampai tingkat kasasi. Ganti rugi yang dikabulkan pengadilan hanya Rp300 juta, tapi mendapat berbagai hambatan, sehingga kesulitan proses eksekusinya. Bahkan pihak kepolisian melakukan PK, tapi untungnya ditolak MA. Ganti rugi diberikan secara sukarela pada tahun 2019 karena Kapolda Sumatera Barat ketika itu maju dalam Pilkada Sumbar 2020.

Awak media yang bertugas melakukan peliputan juga tak luput dari kekerasan. Advokat Publik LBH Pers, Ahmad Fathanah, mencatat periode 2015-2020 terjadi 460 kasus yang menimpa jurnalis. Bentuk kasus yang dialami jurnalis meliputi penganiayaan, teror/ancaman, penghalang-halangan, perampasan dan perusakan alat kerja, intimidasi, kriminalisasi, penyerangan kantor media dan serangan siber.

Fathanah meminta aparat penegak hukum harus memproses setiap laporan jurnalis yang mengalami penyiksaan atau penganiayaan. Dia mengingatkan pihak yang keberatan terhadap pemberitaan dapat mengajukan hak jawab atau melaporkan ke Dewan Pers, bukan dengan cara melakukan peretasan atau menteror. “Para pihak mesti mematuhi UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers,” katanya.

Tags:

Berita Terkait