Sejumlah Indikator UU KPK Hambat Pemberantasan Korupsi
Utama

Sejumlah Indikator UU KPK Hambat Pemberantasan Korupsi

Pembentukan UU No.19 Tahun 2019 dinilai cacat formil yang menghasilkan ketentuan yang melemahkan KPK. Karena itu, diusulkan agar UU No. 19 Tahun 2019 diganti dengan UU yang baru atau setidaknya kembali ke UU No. 30 Tahun 2002.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Tapi pada 5 September 2019, DPR menggelar rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK menjadi RUU Inisiatif DPR. Kemudian revisi UU KPK dimasukan dalam Prolegnas Prioritas 2019 tanpa sepengetahuan publik pada 9 September 2019 dan disahkan menjadi UU pada 17 September 2019 dengan status usulan DPR. Agil menuturkan DPR berdalih revisi UU KPK sebagai tindak lanjut putusan MK No.36/PUU-XV/2017 dan masuk kategori kumulatif terbuka. Tapi faktanya dalam konsiderans UU No.19 Tahun 2019 tidak menyebut putusan MK.

“Putusan MK yang dijadikan dalih DPR itu putusan No.36/PUU-XV/2017, padahal itu tentang uji materi UU MD3, bukan UU KPK,” ujarnya menerangkan.

Agil juga mencatat pembahasan UU No.19 Tahun 2019 berjalan cepat hanya 14 hari (3-17 September 2019). Pembahasannya di DPR tidak partisipatif. “Jangankan melibatkan (partisipasi, red) publik, pimpinan dan KPK secara kelembagaan juga tidak dilibatkan. Hal ini melanggar Pasal 68 ayat (6), Pasal 88, dan Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” sebutnya.  

Menurut Agil, cacat formil pembentukan UU No.19 Tahun 2019 ini menghasilkan ketentuan yang melemahkan KPK. Misalnya terkait dengan independensi lembaga; tafsir keliru pengawasan; kewenangan berlebih Dewan Pengawas; pemberian SP3; hilangnya status penyidik dan penuntut pada pimpinan KPK. Selain itu, tertutup kemungkinan KPK membuka kantor perwakilan dan alih status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditindaklanjuti pemerintah dengan menerbitkan PP No.41 Tahun 2020.

Dosen Hukum Pidana Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan, menjelaskan independensi lembaga sangat diperlukan untuk menghindari konflik kepentingan kekuasaan agar penegakan hukum yang dilakukan KPK dapat dipercaya publik. “Tanpa kepercayaan publik, apapun yang dihasilkan KPK dalam memberantas korupsi tidak optimal,” ujarnya.

Menurut Agustinus, salah satu kelemahan UU No.19 Tahun 2019 yakni pemberhentian pimpinan KPK dapat dilakukan karena melakukan perbuatan tercela. Ketentuan ini akan diatur lebih lanjut melalui Keputusan Presiden. Ketentuan ini harus diperjelas secara rinci apa yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela.” Kriteria itu penting guna mencegah proses pencopotan pimpinan KPK secara tidak fair.

Tak heran, sejak terbitnya UU No. 19 Tahun 2019 dipersoalkan di MK. Pengujian Perubahan UU KPK ada beberapa permohonan. Diantaranya, Permohonan diajukan 25 orang yang berprofesi sebagai advokat yang mengajukan uji formil dan materil atas Perubahan UU KPK. Pengujian formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan pengujian materiil terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf a UU ini terkait konstitusionalitas keberadaan Dewan Pengawas KPK.

Permohonan lain diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid; Abdul Jamil (Dekan Fakultas Hukum UII); Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII); Ari Wibowo (Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII); dan Mahrus Ali (Dosen FH UII). Mereka telah mendaftarkan permohonan uji formil dan materil terhadap Perubahan UU KPK ke MK pada 7 November 2019 lalu.

Selain itu, permohonan juga diajukan Tiga Pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang resmi melayangkan judicial review atas UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK ke MK. Permohonan ini didukung mantan Pimpinan KPK yakni M. Jasin, Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Juru Bicara KPK Betti S Alisjahbana, dan sejumlah tokoh diantaranya Mayling Oey, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha, Ismid Hadad yang juga tercatat sebagai Pemohon. 

Pengujian Perubahan UU KPK ini selain uji formil, juga mengajukan uji materil. Untuk uji formil, proses pengesahan revisi UU KPK terdapat beberapa kejanggalan, sehingga UU ini minta dibatalkan. Untuk uji materil, salah satunya ada pertentangan (kontradiksi) Pasal 69 D dan Pasal 70 C Perubahan UU KPK itu. Bahkan, sebenarnya ada kesalahan tentang pengetikan antara syarat komisioner KPK, apakah 40 tahun atau 50 tahun? Saat ini semua permohonan memasuki sidang pleno pemeriksaan saksi/ahli.

Tags:

Berita Terkait