Sejumlah Kekhawatiran LBH Keadilan atas Perma Baru Protokol Persidangan di Pengadilan
Berita

Sejumlah Kekhawatiran LBH Keadilan atas Perma Baru Protokol Persidangan di Pengadilan

LBH Keadilan mengingatkan beberapa hal, di antaranya soal rekaman persidangan yang sangat bermanfaat untuk menghadirkan fair trial. Dalam Perma 5/2020, kegiatan mendokumentasikan persidangan dilarang tanpa seizin ketua majelis hakim.

Oleh:
Hamalatul Qurani
Bacaan 3 Menit
Gedung Mahkamah Agung (MA). Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung (MA). Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Perma No.5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan (Perma No. 5/ 2020). Perma itu antara lain melarang pengunjung mengambil foto, video, dan mendokumentasikan persidangan dalam sidang terbuka untuk umum. Larangan akan gugur bila pengambilan dokumentasi itu telah mendapatkan izin dari ketua majelis hakim.

Ketua Pengurus LBH Keadilan, Abdul Hamim Jauzie, mengaku khawatir bahwa ketentuan tersebut dapat melanggengkan mafia peradilan, terlebih bisa saja ketua majelis hakim dengan mudah menolak permintaan izin. Selain itu ketentuan tersebut juga jelas bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memberikan jaminan kepada jurnalis dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.

Pengalaman LBH Keadilan, katanya, rekaman persidangan sangat bermanfaat untuk menghadirkan fair trial. LBH Keadilan misalnya pernah melaporkan hakim dengan alat bukti rekaman dalam persidangan. Hadirnya Perma No. 5/2020 itu tentu membuat kami tidak bisa lagi menggunakan rekaman sebagai alat bukti. (Baca: Melihat Pedoman Protokol dan Pengamanan Persidangan)

Mengenai larangan pengunjung sidang menggunakan telepon seluler untuk melakukan komunikasi dalam bentuk apa pun dalam Perma No.5/2020, LBH Keadilan meminta agar aparatur pengadilan terlebih dahulu memberikan contoh kepada publik. Pasalnya selama ini LBH Keadilan justeru sering kali mendapati hakim, panitera pengganti menggunakan telepon selular.

Selanjutnya, perihal kewajiban mengenakan sepatu bagi setiap orang yang hadir dalam persidangan, kami berpendapat hal itu akan memberatkan orang miskin. LBH Keadilan yang kerap mendampingi orang miskin misalnya sering mendapatkan keluhan dari terdakwa yang harus menyewa baju putih yang seolah menjadi baju yang wajib dikenakan untuk mengikuti persidangan.

“LBH Keadilan juga pernah meminta klien ke pengadilan untuk suatu keperluan. Namun karena ketidaktahuannya, klien itu memakai celana pendek, dan kemudian dilarang masuk. Kami kemudian meminjamkan toga untuk dikenakan namun petugas tetap melarangnya,” terang Abdul.

Saat persidangan di Mahkamah Konstitusi yang juga menerapkan kewajiban bersepatu bagi pengunjung, klien kami yang baru datang dari kampung tidak mengenakan sepatu, dan kemudian disarankan petugas untuk meminjam sepatu kepada petugas keamanan. Saat pengembalian sepatu, klien kami sempat diminta sejumlah uang oleh petugas keamanan tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait