Sejumlah Rekomendasi dan Solusi atas Permasalahan OSS RBA
Terbaru

Sejumlah Rekomendasi dan Solusi atas Permasalahan OSS RBA

Setidaknya, ada empat solusi untuk menyelesaikan masalah dalam implementasi OSS RBA.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Kedua, persoalan modal. Apakah modal usaha dalam OSS sama dengan modal usaha yang diatur dalam UU PT, apakah modal usaha sama dengan modal dasar, dan bagaimana dengan modal yang ditempatkan dan disetorkan. Kekhawatirannya ada perbedaan pemahaman antara UU PT. Selain itu terdapat perbedaan besaran modal dasar antara OSS Berbasis Risiko dan PP No.8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.

Ketiga, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Dalam rezim OSS Berbasis Risiko, RDTR merupakan syarat wajib untuk proses perizinan. Hal tersebut jelas diatur dalam PP No.21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Setiap kepala daerah wajib mengintegrasikan RDTR ke dalam sistem OSS Berbasis Risiko dalam bentuk digital.

Pasal 53 PP 21/2021 menyatakan, Menteri dan kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal wajib mengintegrasikan RDTR KPN dalam bentuk digital ke dalam sistem OSS.

Sedangkan Pasal 103 menyatakan, Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang untuk kegiatan berusaha dilaksanakan melalur OSS dengan tahapan: a. pendaftaran; b. penilaian dokumen usulan kegiatan Pemanfaatan Ruang terhadap RDTR; dan c. penerbitan Konfirmasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

Febri mengatakan sejauh ini sistem RDTR belum terintegrasi dengan OSS Berbasis Risiko. RDTR yang tersedia masih sangat terbatas dan belum lengkap. Selain itu adanya syarat RDTR dalam proses perizinan di OSS Berbasis Risiko dinilai dapat memberikan dampak terhadap sektor UMKM yang selama ini banyak menjalankan usaha dari rumah.

“RDTR itu ada tapi belum teintegrasi dengan OSS. Pemda seperti setengah hati, mungkin mereka takut ada dampak ke daerah mereka, tapi kalau tidak ada RDTR maka pelaksanaan OSS Berbasis Risiko tidak akan maksimal. Untuk RDTR ini juga memberatkan UMK, dulu di DKI Jakarta untuk UMK bisa melakukan usaha dari rumah. Tapi saat ini karena ada aturan tata ruang dan pernyataan output OSS UMK harus sesuai tata ruang sehingga pebisnis UMK protes kenapa UMK harus sesuai dengan zonasi tata ruang,” jelas Febri.

Dan keempat adalah penentuan risiko. Dalam OSS Berbasis Risiko, proses izin usaha ditentukan berdasarkan risiko. Semakin tinggi risiko maka semakin kompleks proses perizinan. Namun persoalannya banyak penentuan risiko yang dianggap tidak sesuai dengan jenis usaha.

“Dari segi kebijakan memang jumlah pasalnya ratusan halaman, sehingga menterjemahkannya bingung. Apa yang diamanatkan di PP turunan belum lengkap, contoh salah satu KBLI berbasis RBA sekarang ditimbang sebuah kegiatan usaha risiko apa sehingga menimbulkan efeknya apa. Nah untuk usaha fotografi itu masuk risiko menengah tinggi, mungkin memang ada peralatan yang merugikan, dan juga bidang usaha penerjemah juga masuk ke risiko menengah tinggi. Secara logika tidak ada yang aneh, dampak lingkungannya seperti sampah, tapi masuk ke risiko tinggi, KBLI tidak jelas sehingga izinnya jadi tidak jelas,” ungkap konsultan Easybiz lainnya, Andrey.

Tags:

Berita Terkait