Sejumlah Usulan Koalisi Terkait Status Keselamatan Tahanan
Berita

Sejumlah Usulan Koalisi Terkait Status Keselamatan Tahanan

Dalam suratnya, Ditjen Badilum MA meminta selama masa darurat bencana wabah virus Corona, persidangan perkara pidana dapat dilakukan dengan jarak jauh atau teleconference.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengirimkan surat ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kapolri dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Dalam surat yang diteken Menkumham Yasonna H Laoly bernomor M.HH.PK.01.01.01-03 tertanggal 24 Maret 2020 ini, Kemenkumham meminta layanan kunjungan, penerimaan tahanan baru, dan kegiatan sidang ditunda hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

 

Atas dasar tahahan sebagai kelompok rentan terpapar pandemi Covid-19 dan kondisi lapas atau rutan dalam kondisi over kapasitas, Kemenkumham meminta penundaan pengiriman tahanan ke rutan dan lapas demi pencegahan virus corona. Namun, upaya ini dikritik Koalisi Pemantau Peradilan karena upaya ini dinilai melanggar hukum acara (KUHAP).                    

 

“Kewenangan penahanan agar tidak ‘menabrak’ KUHAP diperlukan peraturan bersama. Seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” kata salah satu anggota KPP, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu di Jakarta, Jum’at (27/3/2020). Baca Juga: Jaksa Se-Indonesia Kompak Sidangkan Perkara Pidana Secara Online

 

Anggota Koalisi lain, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah mengatakan Koalisi menyodorkan sejumlah rekomendasi ke pihak Kemenkumham dan aparat penegak hukum agar  penanganan tahanan di tengah wabah pandemi Covid-19 dapat berjalan sesuai ketentuan KUHAP dengan tetap mengutamakan keselamatan para tahanan.

 

Pertama, dalam menjalankan kewenangan penahanan, penegak hukum tetap harus memperhatikan ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Intinya, penahanan dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih. Aparat penegak hukum perlu memastikan penahanan memenuhi syarat jika ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.

 

“Penahanan harus dilakukan dengan selektif, jika tersangka/terdakwa tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka ia tidak perlu ditahan,” saran dia.

 

Kedua, aparat penegak hukum tak perlu menahan pelaku tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, dan tindak pidana yang tidak melibatkan kekerasan. Bagi Liza, penegak hukum dapat memanfaatkan secara maksimal mekanisme penahanan alternatif. Seperti mekanisme jaminan dalam KUHAP yang memperbolehkan tersangka/terdakwa tidak perlu ditahan.

 

Ketiga, penahanan terhadap tahanan harus memenuhi Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Penegak hukum pun harus memaksimal opsi selain penahanan rutan sedapat mungkin. Sementara Pasal 22 KUHAP memberikan opsi tahanan rumah, tahanan kota yang memungkinkan tahanan tidak perlu ditahan di rutan, tempat penahanan di kepolisian dan kejaksaan. Sebab, ketiga tempat itu berpotensi berisiko penyebaran Covid-19.

 

Sementara opsi tahanan rumah dan kota dapat diberikan dengan mempertimbangkan tempat tinggal yang jelas. Termasuk pekerjaan sehari-hari yang tidak memungkinkan seseorang meninggalkan kota tempat tinggalnya. Dalam situasi ini, proses hukum tetap berjalan dan putusan berupa penjara bisa dilaksanakan setelah pandemi Covid-19 usai.

 

Keempat, penegak hukum harus memaksimalkan penggunaan mekanisme penangguhan penahanan ataupun pembantaran bagi yang membutuhkan perawatan medis. Tak hanya itu, mekanisme rujukan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk melakukan isolasi, karantina, atau tindakan medis lainnya bagi tahanan yang terdampak.

 

Kelima, perlu adanya pengelolaan mitigasi dan edukasi yang komprehensif pada petugas rutan dan lapas untuk menghadapi situasi darurat pandemi Covid-19. Begitu pula penyusunan manajemen mitigasi dan materi edukasi dapat melibatkan lintas sektor. Seperti sektor penanggulangan bencana, kesehatan, dan sosial.

 

“Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah penghuni rutan yang ada, sehingga pencegahan Covid-19 dapat dilakukan dengan efektif sesuai kemampuan rutan atau lapas,” katanya.

 

Sidang tipikor dengan vicon

Terpisah, pelaksana tugas Juru Bicara (Jubir) KPK Ali Fikri mengatakan persidangan perkara tindak pidana korupsi (tipikor) pihaknya telah mengambil sejumlah langkah. Antara lain telah berkoordinasi dengan pihak Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, khususnya terkait teknis persidangan perkara tipikor.

 

Bahkan, antara  KPK dan PN Jakarta Pusat menyepakati bakal mengupayakan persidangan digelar dengan melalui video conference (vicon). Tentu saja, proses persidangan tetap berpegang pada hukum acara yang berlaku, KUHAP. Misalnya, KPK telah melakukan uji coba peralatan yang mendukung persidangan vicon di PN Jakarta Pusat dan di KPK. “Akan dipersiapkan lebih lanjut,” ujarnya.

 

Dia berharap melalui persidangan yang memanfaatkan teknologi di tengah kondisi darurat tidak menghambat jalannya proses hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. “Sehingga penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang  ditentukan dalam UU,” katanya.

 

Hal ini sejalan dengan keinginan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang telah memerintahkan seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) se-Indonesia untuk menggelar sidang (perkara pidana) dalam bentuk video conference di tengah wabah pandemi virus Corona.

 

"Saya tantang para Kajati se-Indonesia agar mulai hari ini bisa berkoordinasi dengan jajaran pengadilan dan lapas di daerah. Bagaimana cara melaksanakan sidang dengan menggunakan vicon," kata Burhanuddin dalam keterangannya, Selasa (24/3) kemarin.

 

Dan hal ini pun direspon positif oleh MA melalui Surat Dirjen Badan Peradilan Umum (Badilum) MA Prim Haryadi tertanggal 27 Maret 2020 yang ditujukan kepala Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia. Dalam suratnya, Ditjen Badilum MA meminta selama masa darurat bencana wabah virus Corona, persidangan perkara pidana dapat dilakukan dengan jarak jauh atau teleconference.

 

“Agar melakukan koordinasi dengan kejaksaan negeri dan rutan/lapas terkait dengan tetap memperhatikan ketentuan UU yang berlaku,” demikian bunyi surat ini.

Tags:

Berita Terkait