Sejuta Nestapa Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Anak Mencari Keadilan
Feature

Sejuta Nestapa Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Anak Mencari Keadilan

Sejak kasus GGAPA mencuat pada Juli 2022, pemerintah belum melakukan pendekatan apapun kepada ratusan korban. Saat ini mereka mempertanyakan rasa empati pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini. Masihkah Negara memiliki hati nurani?

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 10 Menit

Kuasa Hukum para orang tua korban Julius Ibrani pun membenarkan hal tersebut. Dia menilai pemerintah melakukan propaganda negatif lewat pemberitaan media yang menyebut bahwa GGAPA disebabkan oleh orang tua yang membeli obat secara sembarangan. “Salah minum obat, beli sembarangan. Semua itu hoax,” ucap Julius yang juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta ini.

Siti Suhardiyati turut menyampaikan rasa kecewa yang mendalam atas respon pemerintah dalam tragedi GGAPA ini. Jangankan bantuan ataupun santunan, sejak sang anak bernama Umar Abubakar meninggal dunia akibat GGAPA beberapa waktu lalu, hingga detik ini belum ada perwakilan pemerintah yang datang menemui para korban untuk sekadar menyampaikan rasa empati dan permintaan maaf.

Siti mempertanyakan di mana hati nurani pemerintah saat melihat ratusan anak kehilangan nyawa, dan beberapa anak lainnya yang masih berjuang untuk kembali pulih setelah mengkonsumsi obat yang mereka yakini bisa menyembuhkan. Dia dan para orang tua korban GGAPA merasa terabaikan, tersudutkan, terasingkan, dikucilkan dan dibiarkan berjuang sendiri.

“Di mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Coba lihat kami, lihat bagaimana kondisinya. Jangan hanya membahas anggaran, hal itu menyakiti hati kami,” tuturnya disertai isak tangis.

Hukumonline.com

Keluarga tragedi korban gagal ginjal akut pada anak mencari keadilan. Foto: FNH

Saling lempar tanggung jawab yang dipertontonkan pemerintah seakan menempatkan dirinya dan para korban lain seperti beban bagi Negara. Tak ada perlakuan khusus di rumah sakit bagi para korban yang masih dalam perawatan, bahkan kondisi anak-anak yang menderita GGAPA sangat mengenaskan. Banyak yang mengalami cacat permanen seperti buta dan tidak bisa mendengar sebagai dampak dari gagal ginjal, meski GGAPA sudah dinyatakan sembuh. Siti meyakini sebagai korban mereka punya hak untuk mendapatkan perlindungan dari Negara. Namun kini harapan itu pupus.

Siti menilai pemerintah abai akan penderitaan yang mereka alami. Padahal para orang tua korban sangat membutuhkan dukungan moril dari pemerintah, agar mereka bisa bangkit dan segera pulih dari duka dan rasa bersalah setelah kehilangan anak-anak tercinta.

“Yang kami dengar selalu dipersoalkan soal anggaran, belum pernah mendengar menteri datang ke rumah kami melihat kondisi anak yang masih berjuang, jika melihat apa kalian masih bisa setega itu. Yang disayangkan kenapa di kasus ini sangat lamban. Padahal untuk anggaran yang lain cepat. Apa di negara kita ini nyawa dianggap remeh?” tanya Siti.

Tags:

Berita Terkait