Sekali Lagi tentang Precautionary Principle, Pak Hakim!
Putusan Terpilih MA 2016:

Sekali Lagi tentang Precautionary Principle, Pak Hakim!

Perhitungan ganti rugi akibat kerusakan lingkungan tak bisa disamakan dengan perhitungan ganti rugi benda atau hak atas kebendaan yang biasa diperdagangkan.

Oleh:
HASYRY AGUSTIN
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hutan yang mengarah tandus. Peran hakim sangat penting dalam memberi hukuman rehabilitasi lingkungan akibat kebakararan dan penebangan liar. Foto: MYS
Ilustrasi hutan yang mengarah tandus. Peran hakim sangat penting dalam memberi hukuman rehabilitasi lingkungan akibat kebakararan dan penebangan liar. Foto: MYS
Upaya pemulihan lingkungan akibat kebakaran seringkali terkendala. Penegakan hukum yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mentok di tengah jalan. Tidak sedikit perusahaan yang dicurigai membakar hutan lolos dari jerat hukum. Tetapi ada pula satu dua putusan yang menggunakan argumentasi kuat untuk menghukum pelaku usaha, dan ‘menyentil’ hakim judex facti.

Putusan Mahkamah Agung No. 460K/Pdt/2016 mungkin bisa dijadikan contoh bagaimana hakim tingkat kasasi mengggunakan sejumlah argumentasi untuk mengkoreksi putusan hakim tingkat pertama an banding (judex facti). Jika dihadapkan pada ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty), dimana argumen penggugat dan tergugat sama-sama kuat, hakim seharusnya tidak menyerah mencari dalil. Apalagi kalau sampai tidak berusaha merujuk, memahami dan menerapkan esensi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Sebab, dalam UU PPLH telah terkandung sebuah asas kehati-hatian, yang lazim disebut precautionary principle. Asas ini terbaca dari rumusan Pasal 2 huf f UU PPLH. Asas ini diadopsi dari Prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992. (Baca juga: Hakim Tak Salah Jika Adopsi Ketentuan Hukum Internasional).

Deklarasi Rio 1992 menyebutkan ‘in order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific uncertainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measure to prevent environmental degradation’. Terjemahan bebasnya: “Untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus diterapkan oleh negara-negara. Jika terdapat ancaman serius atau sungguh-sunggu atau kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak membuat putusan yang mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup’.

Berangkat dari prinsip kehati-hatian atau precautionary principle itulah hakim agung memutarbalikkan keadaan perkara. Tergugat, sebuah perusahaan yang beroperasi di Pelalawan Riau, sudah lolos dari gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di tingkat pertama dan banding, lalu berubah pada tingkat kasasi. Perusahaan ini justru diwajibkan membayar ganti kerugian lingkungan hidup sejumlah Rp16.244.574.805.000.

Menurut majelis hakim agung, perusahaan ini bukan saja merusak lingkungan di luar area Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), tetapi juga merusak lingkungan di area IUPHHK-HT seluas 5.590 hektar. (Baca juga: Kisah Metamorfosis Perizinan Modus Utama Kebakaran Hutan).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim agung mengingatkan hutan adalah ciptaan Tuhan yang kalau dirusak tidak akan kembali seperti keadaan semula. Hutan yang diciptakan Tuhan memiliki multifungsi. Karena itu kawasan hutan tunduk pada pengelolaan yang sangat berhati-hati. Pengadilan, sebagai bagian dari cabang kekuasaan negara, wajib menjalankan fungsinya untuk memastikan bahwa asas keberhati-hatian diberlakukan dalam perkara-perkara yang diadili. Apalagi asas itu sudah menjadi bagian dari hukum nasional.

Keliru berlindung di balik SP3
Majelis juga mengkoreksi pertimbangan judex facti yang mengaitkan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus pidana tergugat di kepolisian dengan gugatan perdata yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Metode pembuktian dalam perkara pidana dan perdata itu berbeda.

Menurut majelis kasasi, SP3 tidak serta merta dapat menjadi dasar pembuktian dalam perkara perdata tentang tidak terbuktinya dalil penggugat karena ada perbedaan pembuktian pidana dan perdata. Demikian pula tidak adanya surat keterangan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan tidak bisa menjadi dasar pembuktian bahwa tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

Majelis kasasi yang diketuai Prof. Takdir Rahmadi, juga menyentil masalah pemeriksaan lapangan perkara perusakan lingkungan hidup. Pemeriksaan lapangan oleh hakim memang tak diharuskan atau diatur oleh undang-undang. Tetapi bagaimana hakim bisa memastikan telah terjadi penebangan kayu di luar area IUPHHK-HT dan memastikan ukuran kayu jika hakim sendiri mengakui ada ketidakpastian ilmiah?

“Walaupun pemeriksaan lapangan tidak disebutkan dalam undang-undang tetapi mengingat perkara-perkara lingkungan hidup selalu mengandung unsur ketidakpastian ilmiah, maka hakim perlu melakukan pemeriksaan setempat dalam usaha mencari kebenaran atas fakta,” demikian antara lain pertimbangan majelis kasasi.

Nilai kerugian
Masalah lain yang penting dari putusan ini adalah pertimbangan majelis mengenai perhitungan ganti kerugian atas kerusakan lingkungan hidup. Menurut majelis hakim agung, perhitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan tidak bisa disamakan dengan benda-benda atau hak-hak kebendaan yang sudah jadi objek perdagangan. (Baca juga: Hukuman Bagi Perusahaan Pelaku Pencemaran Lingkungan).

Dalam menghitung kerugian akibat kerusakan lingkungan harus dipertimbangkan kerugian (fungsi) ekologis dan biaya pemulihan lingkungan. Faktanya, lingkungan memiliki multifungsi bagi ummat manusia. Dalam amarnya majelis kasasi mendasarkan perhitungan ganti rugi pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.

Henry Subagio, Direktur Eksekutif ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) menilai putusan No. 460 K/Pdt/2016 disebut sebagai putusan terpilih, bahkan landmark decision. Sebab, masih jarang putusan menjadikan keadilan lingkungan sebagai dasar untuk memutus perkara lingkungan. Argumentasi majelis kasasi, menurut dia, sangat kuat. “Menurut saya ini adalah terobosan hukum. Karena dalam putusan ini hakim tidak hanya memutuskan sesuai dengan nuraninya saja, tetapi juga melihat keadilan lingkungan,” ujarnya kepada hukumonline.

Ini bukan kali pertama majelis hakim menggunakan dalil precautionary principle. Dalam kasus putusan Mandalawangi (longsor di Garut), majelis sudah hakim menggunakannya sebelum Deklarasi Rio itu diakomodasi ke dalam hukum nasional. Henry menyebut apa yang dilakukan majelis hakim kasasi semacam itu sebagai judicial activism. (Baca juga: Hakim KLHK vs BHM Seharusnya Melakukan Judicial Activism).

Henry mengapresiasi putusan Takdir Rahmadi, Nurul Elmiyah dan I Gusti Agung Sumanatha karena majelis menerapkan prisip keberhati-hatian sekaligus menjawab ketidakpastian yang terjadi diperkara yang terjadi ketidakpastian ilmiah. Ini meneroboso pakem yang selama ini sering dipegang bahwa kalau hakim tidak yakin maka pelaku akan dibebaskan. “Karena ketidakpastian ilmiah tidak membebaskan pelaku dari perlindungan dan pemulihan lingkungannya. Prinsip itu yang harus dipegang,” tuturnya.

Henry berpendapat peranan hakim sangat besar menentukan bagaimana perlindungan dan rehabilitasi lingkungan hidup dikedepankan dalam kasus-kasus kebakaran hutan atau perusakan lingkungan hidup. Hakim harus memahami perkembangan hukum, termasuk perkembangan hukum lingkungan internasional. (Baca juga: Hakim Agung Dukung In Dubio Pro Natura)

Ahli hukum lingkungan dari Universitas Parahyangan Bandung, Aspe Warlan Yusuf mengatakan tidak ada yang salah jika majelis hakim menggunakan perangkat hukum internasional, seperti Deklarasi Rio, saat memutus perkara lingkungan hidup. Hakim bisa mendasarkan putusannya pada enam hal: perundang-undangan, putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau yurisprudensi, kebijakan internal seperti juknis, pendapat ahli, hasil dari kajian internasional, dan kebiasaan.

Jadi, pada intinya, pertimbangan hakim yang mengakomodasi Deklarasi Rio adalah sah. Apalagi jika sudah diratifikasi atau dimasukkan ke dalam hukum nasional. “Hemat saya tidak aneh ketika merujuk konvensi internasional,” tutur Prof. Asep kepada Hukumonline via sambungan telepon.

Senada dengan Henry, Prof. Asep Warlan Yusuf mengapresiasi putusan Mahkamah Agung dalam penggunaan precautionary principle. Menurut dia, majelis hakim menggunakan kecerdasan dalam memutus kasus lingkungan. “Ini mengandung sebuah pendalaman dari segi perasan keyakinan terhadap suatu kebenaran. Cerdas secara hati dan pengetahuan. Hakim harus seperti itu kalau ingin menghadirkan keadilan dalam lingkungan. Makanya saya ketika memberikan training selalu menyebutkan kata-kata judicial activism artinya hakim harus memahami perkembangan keilmuan khususnya ialah menangani hukum, mampu memahami dan menggali,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait