Selain Diminta Mundur, Tindakan Lili Pintauli Dinilai Masuk Perilaku Koruptif
Utama

Selain Diminta Mundur, Tindakan Lili Pintauli Dinilai Masuk Perilaku Koruptif

Sanksi berupa pemotongan 40 persen dari gaji pokok bukanlah keputusan yang mencerminkan keadilan substantif. Bila mengacu Pasal 36 jo Pasal 65 UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK, perbuatan Lili masuk kategori sebagai perbuatan pidana dengan ancaman paling lama 5 tahun penjara.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar usai mengikuti sidang keputusan Dewas KPK yang menjatuhkan sanksi berat terhadap dirinya  berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen, Senin (30/8/2021). Foto: RES
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar usai mengikuti sidang keputusan Dewas KPK yang menjatuhkan sanksi berat terhadap dirinya berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen, Senin (30/8/2021). Foto: RES

Keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang menjatuhkan sanksi berat berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan terus mendapat sorotan publik. Sebab, tindakan Lili dinilai telah mencoreng nama lembaga pemberantasan korupsi dan sanksi etik yang dijatuhkan pun dinilai sebagian pihak terlalu ringan, tak sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan. Karena itu, sebagian kalangan mendorong agar Lili mundur dari pimpinan KPK.

“Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak agar Dewas KPK meminta Lili Pintauli Siregar segera mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua/Pimpinan KPK karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku jabatan,” ujar pengacara publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora melalui keterangan tertulis, Selasa (31/8/2021). (Baca Juga: Berhubungan dengan Pihak Berperkara, Lili Pintauli Disanksi Dewas KPK)

Nelson menilai terhadap keputusan etik menunjukan adanya perilaku koruptif dalam tubuh lembaga anti korupsi sendiri. Ini menunjukan ketidakseriusan dan lemahnya penegakan hukum tindak pidana korupsi termasuk lemahnya pengawasan. Atas kasus ini, LBH Jakarta memiliki tiga catatan.

Pertama, semestinya sanksi berat dijatuhkan terhadap Lili melihat pelanggaran etik yang dilakukannya. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c Peraturan Dewas KPK No.2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi  mengatur pelanggaran berat yakni jenis pelanggaran yang memberikan dampak dan kerugian terhadap negara.

Lili dikenakan sanksi berat seperti diatur Pasal 10 ayat (4) Peraturan Dewas KPK No.2 Tahun 2020, hanya saja penerapannya tidak maksimal. Pasal 10 ayat (4) menyebutkan, Sanksi Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bagi Dewan Pengawas dan Pimpinan, terdiri atas: a. pemotongan gaji pokok sebesar 40% (empat puluh persen) selama 12 (dua belas) bulan; b. diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Dewan Pengawas dan Pimpinan”.

Menurutnya, sanksi berat berupa pemotongan 40 persen dari gaji pokok bukanlah putusan yang mencerminkan keadilan substantif. Sebab, mengacu Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2015 tentang Gaji Pimpinan KPK, mengatur besaran gaji pokok wakil ketua KPK sebesar Rp4,620,000-. Nah pemotongan 40 persen hanya sebesar Rp1.848.000,- per bulan. Sedangkan total gaji yang diterima per bulan mencapai Rp89 juta per bulan bila mengacu PP 82/2015.

Bagi LBH Jakarta, kata Nelson, bila mengacu Pasal 36 jo Pasal 65 UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK, perbuatan Lili masuk kategori sebagai perbuatan pidana dengan ancaman paling lama 5 tahun. Pasal 36UU KPK menyebutkan, “Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apapun”.  Sedangkan Pasal 65 menyebutkan, “Setiap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”

Tags:

Berita Terkait