Selain Diminta Mundur, Tindakan Lili Pintauli Dinilai Masuk Perilaku Koruptif
Utama

Selain Diminta Mundur, Tindakan Lili Pintauli Dinilai Masuk Perilaku Koruptif

Sanksi berupa pemotongan 40 persen dari gaji pokok bukanlah keputusan yang mencerminkan keadilan substantif. Bila mengacu Pasal 36 jo Pasal 65 UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK, perbuatan Lili masuk kategori sebagai perbuatan pidana dengan ancaman paling lama 5 tahun penjara.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Kedua, pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sebelumnya pernah dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri yang menggunakan sarana helikopter milik perusahaan swasta dalam perjalanannya dari Palembang menuju Baturaja. Tindakan tersebut kemudian diputus bersalah oleh Dewas KPK. Firli dinilai terbukti melanggar kode etik “integritas” dalam Pasal 4 ayat (1) huruf n dan/atau “kepemimpinan” dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f. Sayangnya, Dewas hanya mengganjar Firli dengan sanksi ringan.

Ketiga, Dewas KPK semestinya menyadari bahwa tugas dan fungsinya mengawasi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK yakni menjamin setiap insan KPK, khususnya Pimpinan KPK harus memiliki kejujuran, integritas, moralitas dan reputasi yang baik. “Apabila KPK yang direpresentasikan melalui Komisioner-nya berperilaku koruptif, maka sesungguhnya harapan terhadap masa depan penegakan tindak pidana korupsi telah menemui jalan buntu,” katanya.

Jauh dari rasa keadilan

Senada, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak Lili mundur dari kursi jabatan wakil ketua KPK. Menurutnya pengunduran diri dari jabatan pimpinan KPK dalam upaya menjaga marwah dan kehormatan kelembagaan KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. Selain itu, keputusan Dewas KPK terhadap Lili masih jauh dari rasa keadilan masyarakat.

“Ini belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena semestinya sanksinya adalah permintaan mengundurkan diri atau pemecatan,” ujarnya.

Bila Lili tak mengundurkan diri dari jabatannya, kasus ini bakal terus menjadi noda bagi KPK. Bahkan, KPK ke depannya bakal sulit melakukan pemberantasan korupsi. Karena itu, pengunduran diri dari kursi jabatan pimpinan KPK demi kebaikan KPK dan pemberantasan korupsi. Meski begitu, Boyamin menghormati keputusan Dewas KPK. Soal pilihan melaporkan perkara tersebut ke Bareskrim, Boyamin menilai masih dalam kajian mendalam, khususnya terkait Pasal 36 UU KPK

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad berpandangan menyesalkan perbuatan Lili yang mencoreng wajah kelembagaan KPK. Akibatnya, KPK mendapat cibiran masyarakat khususnya di era kepemimpinan Firli Bahuri. Baginya, sanksi bagi Lili terbilang menarik karena UU KPK tidak mengatur sanksi spesifik berupa pemotongan gaji pokok.

“Apakah dalam rangka memberi efek jera, tapi apakah sanksi etik ini efektif? Selain itu patut dikaji, apakah potongan gaji pokok tersebut termasuk bagian dari sanksi etik?”

Suparji berharap peristiwa ini tak terjadi lagi pada KPK di kemudian hari. Bagi pihak yang telah bergabung dengan KPK harus memiliki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi. Meski mengapresiasi kinerja Dewas yang aktif mengawasi kinerja pimpinan KPK, namun perlu memperbaiki formula sanksi yang lebih efektif dan tepat sasaran.

“Jangan sampai ada anggota, bahkan pimpinan yang berkompromi dengan korupsi. Hal ini bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga anti rasuah itu,” katanya.

Dalam keputusan yang dibacakan Senin (30/8/2021), Dewas KPK menjatuhkan sanksi etik terhadap Lili. Lili dinilai terbukti melanggar kode etik berupa penyalahgunaan kewenangan jabatan pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Dan berhubungan langsung dengan pihak berperkara yang sedang ditangani KPK. Perkara tersebut terkait Wali Kota nonaktif Tanjung Balai M Syahrial yang tersandung perkara dugaan suap lelang jabatan. Atas pelanggaran kode etik berat yang dilakukan Lili Pintauli, Dewas KPK memberi sanksi berupa pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan.

Tags:

Berita Terkait