Selamatkan Stabilitas Keuangan Melalui RUU JPSK
Berita

Selamatkan Stabilitas Keuangan Melalui RUU JPSK

Untuk mencegah agar krisis tak merembet kepada ketahanan sektor perbankan yang rentan.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Acara seminar LPS dengan tema
Acara seminar LPS dengan tema
Kasus Bank Century yang menjadi perhatian publik beberapa tahun silam,menjadi momok menakutkan bagi pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan. Betapa tidak, akibat kebijakan mem-bailout sebuah bank, beberapa pejabat terseret ke pusaran kasus korupsi.

Kenyataan ini yang menjadi ganjalan para pemangku kebijakan untuk mengambil keputusan yang sama jika ke depan terjadi hal serupa. Meskipun beragam pendapat menilai bahwa tindakan penyelamatan Bank Century untuk mencegah agar dampak sistemik bank gagal tersebut tak menyeret ke perbankan lain, namun hal berbeda dilihat dari sisi hukum.

Kekhawatiran semakin menjadi jika dilihat dari interval krisis global yang semakin lama semakin sering terjadi. Sebagai negara berkembang, bukan tidak mungkin krisis yang terjadi di belahan negara lain itu dapat berimbas ke Indonesia. Belum lagi, stabilitas sistem keuangan di dalam negeri yang belum sempurna. Hal tersebut semakin terlihat dari adanya perang suku bunga deposito antar bank besar.

Serangkaian kejadian ini dinilai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai sebuah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan para regulator. Sebagai lembaga yang berfungsi memelihara stabilitas perbankan, LPS berharap ada payung hukum bagi pengambil kebijakan dalam melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.

Kepala Eksekutif LPS Kartika Wijoatmodjo menilai, keberadaan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) menjadi kunci jawaban untuk meredam kekhawatiran para pemangku kepentingan tersebut. Setidaknya, terdapat tiga substansi besar yang bisa masuk dalam RUU tersebut. Misalnya, pihak yang bisa menentukan krisis.

Selama ini, kata Kartika, belum ada pihak yang memiliki wewenang dalam menentukan krisis. Sehingga, antisipasi dari pemangku kepentingan masih bisa diperdebatkan dasar hukumnya jika terjadi krisis. “Siapa yang menentukan krisis itu, apakah pemerintah atau persetujuan DPR, itu harus jelas,” katanya di sela-sela seminar HUT LPS ke-9 di Jakarta, Selasa (23/9).

Substansi kedua, lanjut Kartika, mengenai parameter krisis. Parameter ini harus jelas, sehingga ke depannya penetapan krisis bisa ditindaklanjuti dengan keputusan yang tepat. Sedangkan substansi lain yang penting terkait kebijakan dalam pemberian dana bailout kepada bank gagal.

“Sehingga kami minta DPR segera menyusun RUU JPSK,” katanya.

Kartika menilai, keberadaan RUU JPSK tersebut menjadi payung hukum bagi para pengambil kebijakan untuk menyelamatkan stabilitas sektor keuangan di Indonesia. Tujuannya untuk mencegah agar krisis tak merembet kepada ketahanan sektor perbankan yang rentan.

Menurutnya, interval krisis yang dari tahun ke tahun semakin pendek menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan. Belum lagi, rencana normalisasi kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Fed. Rencana tersebut bisa berdampak pada kenaikan suku bunga.

Sehingga, ke depan negara-negara berkembang bisa terkena dampak kenaikan suku bunga tersebut. Terlebih lagi, selama ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melihat perang suku bunga antar bank-bank besar mulai mengkhawatirkan. Hal ini semakin menjadikan stabilitas di sektor keuangan semakin mudah goyah.

Atas dasar itu, LPS mengusulkan agar di RUU JPSK mengubah Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) sebagai lembaga yang permanen. Tujuannya, agar jika terjadi krisis keuangan, antisipasi dari lembaga permanen bisa segera dilakukan. “Kita mempersiapkan segala sesuatu infrastrukturnya untuk menangani krisis lebih baik, salah satunya ketahanan di perbankan karena sektor yang paling rentan terhadap krisis, selain karena currency,” tutur Kartika.

Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana sependapat mengenai pentingnya RUU JPSK dalam menjaga stabilitas sektor keuangan. Menurutnya, dalam RUU tersebut bisa dimasukkan substansi mengenai kewenangan dalam menentukan krisis.

Sedangkan terkait imunitas bagi pengambil kebijakan dalam menetapkan sebuah bank gagal, ia menilai tak perlu. Menurut Hikmahanto, imunitas seperti ini pula yang menjadi alasan DPR tidak menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) JPSK beberapa tahun silam.

“Itu karena ada kekhawatiran, orang sebagai pengambil kebijakan terus dia akan dipersalahkan. Jadi yang sekarang ini, mungkin imunitas seperti itu tidak perlu,” katanya.

Meski tak ada imunitas bagi pengambil kebijakan, Hikmahanto berharap, cara penegakan hukum terutama terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan benar. Yakni, dengan membuktikan bahwa telah terpenuhinya unsur-unsur yang menyebabkan terjadi korupsi. Seperti, perbuatan melawan hukum, perkaya orang lain atau korporasi maupun terjadi kerugian negara.

“Tapi intinya bukan ada tidaknya imunitas, tetapi pemberantasan terhadap korupsi harus benar-benar terhadap orang-orang punya niat melakukan perbuatan jahat, itu yang kena,” tutup Hikmahanto.
Tags:

Berita Terkait