Seluk Beluk Penghukuman Korporasi Sebelum dan Sesudah PERMA
Berita

Seluk Beluk Penghukuman Korporasi Sebelum dan Sesudah PERMA

Ada beda pendapat mengenai korporasi yang dihukum tanpa didakwa sebelum terbitnya Perma No. 13 Tahun 2016.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Webinar tindak pidana korporasi. Foto: RES
Webinar tindak pidana korporasi. Foto: RES

Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi sudah hampir empat tahun. Selama empat tahun berlaku ada sejumlah korporasi yang sudah diproses oleh aparat penegak hukum baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian maupun Kejaksaan Agung menggunakan Perma dimaksud.

Sebelumnya pengaturan tindak pidana korporasi yang ada setidaknya mencakup tiga model. Pertama, peraturan yang mengakui bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Contohnya adalah UU No. 1 Tahun 1953 tentang Penimbunan Barang-Barang, dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua, mengakui bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, namun tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam model ini dibebankan kepada pengurus korporasi dengan konsep vicarious liability, seperti yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan beberapa undang-undang yang lahir sebelumnya.

Ketiga, peraturan yang mirip dengan model kedua, namun dengan tambahan bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana yang bersifat finansial meski tidak duduk sebagai terdakwa, seperti yang pernah diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

(Baca juga: Kemendag Sesuaikan UU Perdagangan dan Metrologi Legal dengan RUU Cipta Kerja).

Perma No. 13 Tahun 2016 menjadi jawaban bagaimana cara memidanakan korporasi setelah sebelumnya seringkali ada perbedaan pendapat sejumlah ahli mengenai hal tersebut. Salah satunya berkaitan dengan menghukum korporasi tanpa didahului oleh dakwaan dan penuntutan terhadap sejumlah perusahaan.

Hakim Agung Surya Jaya berpendapat sebelum adanya Perma ini, kerapkali muncul informasi tentang sulitnya aparat penegak hukum memanggil korporasi untuk meminta pertanggungjawaban. Sebab tidak ada instrumen paksa yang mengatur mengenai mekanisme pemanggilan tersebut. “Case itu sebelum lahir Perma setelah itu tidak ada lagi kendala teknis. Sebelum Perma ada korporasi dihukum sebelum didakwa, setelah ini tidak ada lagi, jadi mereka punya hak konstitusional membela diri,” ujarnya dalam diskusi webinar yang dilakukan oleh hukumonline, Rabu (22/4).

Ia juga melihat masih ada paradigma penegak hukum jika korporasi tidak bisa dihukum karena hanya berupa benda mati, sehingga tidak mempunyai niat jahat ataupun kesalahan. Niat jahat ataupun kesalahan itu dilakukan oleh direksi yang menjalankan korporasi tersebut. Padahal selama ini yang menikmati hasil kejahatan adalah korporasi, dan pelaku kejahatan juga berbuat atas nama ataupun berhubungan dengan korporasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait