Sengkarut Hukum Pembubaran Ormas
Kolom

Sengkarut Hukum Pembubaran Ormas

Untuk membubarkan Perseroan Terbatas yang melanggar kepentingan umum, kejaksaan perlu memohon pembubaran ke pengadilan. Sementara untuk membubarkan Ormas, cukup sepihak dengan keputusan menteri. Kenapa?

Bacaan 8 Menit

UU Ormas sebenarnya juga tidak jelas mengatur sanksi pembubaran bagi organisasi yang hanya ber-SKT seperti FPI. Untuk Ormas yang hanya ber-SKT, sanksi akhirnya adalah pencabutan SKT. Sanksi pencabutan status badan hukum (yang dengan itu sekaligus dinyatakan bubar) hanya dapat dijatuhkan pada Ormas yang berbadan hukum. Lebih jauh, UU Ormas juga tidak mengatur sanksi bagi organisasi seperti FPI, yang bahkan SKT-nya sudah tidak berlaku sejak 20 Juni 2019, dan mungkin juga tidak memiliki status badan hukum untuk dicabut/dibubarkan.

Sepertinya di tengah kerumitan yang luar biasa dan mungkin ketergesaan inilah, perumus SKB lantas membuat rumusan diktum yang unik sekaligus problematik; menyatakan bahwa FPI adalah organisasi yang tidak terdaftar, sehingga secara de jure telah bubar sebagai ormas. Padahal organisasi yang tidak terdaftar, seharusnya tidaklah serta merta bubar. Tidak terdaftar adalah status yang berbeda dari bubar. Selain itu, perlu dilihat juga adanya pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan No. 82/PUU-XI/2013 dan No. 3/PUU-XII/2014) yang kurang lebih menyatakan bahwa ormas yang tidak terdaftar tetap memiliki hak hidup sepanjang tidak mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melanggar hak kebebasan orang lain.

Bisa jadi, perumus SKB sebenarnya bukan bermaksud menyatakan bahwa FPI bubar karena tidak terdaftar, melainkan karena FPI dianggap melakukan pelanggaran hukum atau mengganggu ketertiban umum.

SKB ini juga tidak tegas menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang. Berbeda dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dengan tegas dinyatakan sebagai organisasi terlarang (oleh TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966), atau Jemaah Islamiyah (JI) yang ditetapkan sebagai organisasi terlarang berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (No.2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel).

Namun terlepas dari semua kompleksitas di atas, dari segi komunikasi politik, pesan mudah yang mungkin lebih akan dipahami publik adalah: bahwa FPI telah bubar, dan bahwa kegiatan dan penggunaan simbol FPI telah dilarang pemerintah.

Selain itu, potensi kerancuan lain adalah mengenai bentuk SKB itu sendiri. Masih ada kerancuan praktik mengenai kedudukan SKB dari segi peraturan perundang-undangan. Menurut penamaan dan bentuknya, SKB jelas merupakan kategori Keputusan (beschikking). Sebagai beschikking, maka SKB ini sifat normanya individual, konkret, dan sekali selesai (einmalig). Sebagai beschikking, isi dari SKB ini seharusnya khusus ditujukan untuk FPI dan tidak mengatur umum. Namun demikian, dalam tataran praktik masih ada perbedaan pandangan mengenai hal ini. Ada pandangan yang menilai bahwa SKB bisa saja berisi dan bersifat mengatur umum sehingga bisa dikatakan sebagai peraturan (regeling), ataupun peraturan kebijakan (beleidsregel).

Dalam tataran implementasi di lapangan, perdebatan soal beschikking, regeling, atau beleidsregel pastinya sulit terjadi. SKB ini tentunya akan dipandang sebagai rujukan yang bersifat umum dan mengatur, untuk melarang kegiatan dan penggunaan simbol FPI.

Tags:

Berita Terkait