Sengkarut Hukum Pembubaran Ormas
Kolom

Sengkarut Hukum Pembubaran Ormas

Untuk membubarkan Perseroan Terbatas yang melanggar kepentingan umum, kejaksaan perlu memohon pembubaran ke pengadilan. Sementara untuk membubarkan Ormas, cukup sepihak dengan keputusan menteri. Kenapa?

Bacaan 8 Menit

Terbukti, berselang satu hari pasca terbitnya SKB, muncul Maklumat Kapolri No. Mak/1/I/2021. Maklumat ini menyatakan agar masyarakat segera lapor apabila menemukan ada kegiatan FPI, melarang masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan FPI, dan melarang masyarakat agar tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI di website maupun media sosial. Tentunya, maklumat yang kemudian diprotes oleh berbagai kelompok masyarakat karena dianggap membatasi hak atas informasi ini, menjadikan SKB sebagai dasarnya.

Due Process of Law

Pro-kontra publik tentang SKB pelarangan FPI ini mirip dengan perdebatan tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Juli 2017. Sebagian masyarakat mengangkat argumen soal paradox of tolerance (dengan mengutip filsuf Karl Popper), yang memandang bahwa toleransi tak berbatas terhadap kelompok intoleran pada akhirnya akan membahayakan dan melenyapkan toleransi itu sendiri.

Menuntut adanya due process of law terhadap suatu pembatasan hak yang dilakukan oleh pemerintah, tidaklah sama dengan menoleransi aksi kelompok intoleran. Mendesak agar ada kesempatan membela diri dalam persidangan (fair trial) bagi organisasi yang dibubarkan, tidak sama dengan mendukung organisasi anti demokrasi dan anti hak asasi manusia. Kebebasan berserikat memang merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable right). Namun, bukan berarti pembatasannya bisa dilakukan dengan cara sewenang-wenang.

Pembubaran organisasi juga sepatutnya dijalankan sebagai langkah pamungkas, setelah atau bersamaan dengan mengadili kejahatan pengurus ataupun anggota organisasi tersebut. Hal ini memang tidak pernah mudah dan perlu strategi penanganan perkara yang cukup kompleks. Dengan pengadilan, publik akan bisa melihat perkara ini dengan terang, termasuk membongkar ada kejahatan apa dan siapa saja di balik organisasi yang hendak dibubarkan.

Sebagian orang tentu bisa jadi tidak sabar, dan menganggap proses hukum melalui pengadilan terlalu bertele-tele. Namun, kalau bukan untuk bertele-tele dalam menghormati hak dan melindungi dari kesewenang-wenangan, buat apa lagi kita berdemokrasi dan bernegara hukum?

Ada detail teknis yang cukup rumit mengenai hukum pembubaran ormas, dan tentunya tak cukup ruang dalam kesempatan tulisan sederhana ini. Pokok pangkal masalahnya ada pada UU Ormas. Pada UU Ormas versi tahun 1985, pemerintah dapat membekukan dan membubarkan ormas tingkat nasional setelah mendengar keterangan ormas yang bersangkutan, dan mendapatkan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Pada tahun 2013, ada UU Ormas baru yang mengatur sanksi pencabutan status badan hukum alias pembubaran ormas berbadan hukum berdasarkan putusan pengadilan. Pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu Ormas yang menihilkan proses pembubaran melalui pengadilan. Perppu Ormas ini kemudian sudah disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi undang-undang.

UU Ormas memang bagai nila dalam belanga susu pengaturan di sektor sosial-kemasyarakatan. UU Ormas merancukan lingkup pengertian Ormas, mencampuradukkan antara bentuk Ormas yang tidak berbadan hukum (hanya berdasar Surat Keterangan Terdaftar alias SKT), dengan bentuk badan hukum Yayasan (stichting) yang tidak mempunya anggota, dan dengan badan hukum Perkumpulan (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen) yang berbasis keanggotaan.

Tags:

Berita Terkait