Sengketa Lahan Ponpes Markaz Syariah FPI, Bagaimana Aturan Tanah Terlantar?
Berita

Sengketa Lahan Ponpes Markaz Syariah FPI, Bagaimana Aturan Tanah Terlantar?

​​​​​​​Definisi tanah terlantar tidak diatur dalam PP 11/2010 tetapi di peraturan Kepala BPN.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Pimpinan Front Pembela Islam M Rizieq Shibab. Sumber: Youtube (FRONT TV)
Pimpinan Front Pembela Islam M Rizieq Shibab. Sumber: Youtube (FRONT TV)

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII melayangkan somasi terhadap pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah milik pimpinan Front Pembela Islam M Rizieq Shibab di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Dalam surat somasi yang diperoleh Hukumonline tertulis pesantren itu telah menempati lahan sejak 2013 tanpa adanya izin dari PTPN VIII.

Menanggapi hal ini, Rizieq menjelaskan tidak menolak jika diminta pindah. Namun dia meminta negara mengganti rugi agar dia bisa membangun pesantren di tempat lain. "Kalau pemerintah melihat lahan ini perlu diambil oleh negara, kami nggak nolak, ambil, silakan. Kapan saja pemerintah mau ambil ini tanah, kalau merasa tanah ini, negara, silakan ambil. Tapi tolong kembalikan semua uang yang sudah dikeluarkan oleh umat. Untuk memberikan dan membangun tempat ini, supaya uang tersebut bisa kita pindahkan ke tempat lain untuk membangun yang sama. Bukan seenaknya rampas-rampas saja," katanya dalam akun YouTube FPI, FRONT TV, Rabu (23/12).

Rizieq mengakui PTPN VIII memiliki hak guna usaha (HGU) tanah yang menjadi Ponpes Markaz Syariah. Namun Rizieq menyebut tanah itu ditelantarkan oleh PTPN VIII. "Tanah ini, saudara, sertifikat HGU-nya atas nama PTPN, salah satu BUMN. Betul, itu tidak boleh kita mungkiri. Tapi tanah ini sudah 30 tahun lebih digarap oleh masyarakat. Tidak pernah lagi ditangani oleh PTPN. Catat itu baik-baik," katanya.

Rizieq lantas berbicara tentang UU tentang Agraria. Menurut dia, jika ada tanah yang telantar selama 20 tahun, tanah itu bisa menjadi milik penggarap. "Saya ingin garis bawahi, ada UU di negara kita, satu UU Agraria. Dalam UU Agraria tersebut disebutkan, kalau satu lahan kosong atau telantar digarap masyarakat lebih dari dua puluh tahun, maka masyarakat berhak untuk membuat sertifikat. Ini bukan 20 tahun lagi, tapi 30 tahun, Jadi masyarakat berhak tidak? (dijawab berhak oleh pendengar). Bukan ambil tanah negara," katanya.

Menjadi pertanyaan bagaimana status dan pengertian tanah terlantar dalam aturan perundang-undangan? Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Pasal 1 ayat (5) menyebutkan tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah/pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Namun ketentuan dalam PP tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diterbitkannya PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Sayangnya tidak ada definisi tanah terlantar dalam PP 11/2020, definisinya justru diatur dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Baca:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait