Seni dan Hukum yang Membungkam
Kolom

Seni dan Hukum yang Membungkam

​​​​​​​Hukum bisa digunakan penguasa untuk bungkam ekspresi seni yang suarakan protes. Upaya ini kerap berakhir gagal, tapi terus diulangi dari masa ke masa.

Bacaan 6 Menit

Persinggungan antara hukum dan kebebasan artistik, biasanya mulai bermasalah ketika membahas soal pembatasan. Perlu diingat, kebebasan artistik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of expression) yang merupakan hak yang bisa dikurangi (derogable right). Bagaimana misalnya, jika ada propaganda kebencian yang dibuat dan disebarkan seolah-olah sebagai karya seni? Apa batasannya?

Pasal 19 (3) International Covenant on Civil and Political Rights membolehkan pembatasan ekspresi artistik. Pembatasan ini dibolehkan hanya dalam hal telah diatur undang-undang (provided by law) dan sepanjang dipandang perlu: 1) Untuk menghormati hak atau reputasi orang lain, dan 2) Untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan publik atau moral publik. Bisa diduga, kerumitan lanjutan akan muncul ketika membahas rincian unsur-unsur ini. Misalnya, soal apa yang dimaksud dengan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan publik, atau moral publik.

Mendung Kebebasan

Secara umum, situasi ruang kebebasan sipil di dunia memang tidak baik. Laporan CIVICUS Monitor tahun 2021 menunjukkan bahwa dari 196 negara yang dipantau, hanya 3,4% negara yang kebebasan sipilnya masuk kategori terbuka (open). Sementara 9,3% menyempit (narrowed), 18,3% terhambat (obstructed), 43,6% tertekan (repressed), dan 18,1% tertutup (closed). Untuk Indonesia, laporan Freedom House tahun 2021 masih menempatkan Indonesia dalam status “Partly Free”.

Tak berbeda, situasi kebebasan artistik dunia juga mendung. Freemuse, sebuah organisasi yag memiliki consultative status dengan UNESCO, melaporkan bahwa di tahun 2020 ada 17 pegiat seni dibunuh (killed), 82 dipenjara (imprisoned), 133 ditahan (detained), 107 dituntut (prosecuted). Laporan itu juga menunjukkan, bahwa dari 82 pegiat seni yang dipenjara (tersebar di 20 negara) itu, 74%-nya karena mengkritik pemerintah. Sementara untuk membaca situasi kebebasan artistik di Indonesia, bisa dilihat dari laporan studi Koalisi Seni tentang kebebasan artistik di Indonesia (Gumay et al., 2020). Laporan ini memaparkan temuannya tentang 84 pelanggaran kebebasan artistik dalam 45 kasus yang terpisah pada periode 2010-2020 di Indonesia.

Melihat situasi di atas, nampaknya perlindungan kebebasan artistik di Indonesia belum akan bisa cepat membaik dalam waktu dekat. Penghapusan beberapa mural yang terjadi baru-baru ini, sepertinya belum akan jadi pembungkaman ekspresi seni yang terakhir di Indonesia. Ada banyak hal mendasar yang masih perlu diperbaiki. Terlebih lagi, kebijakan pidana kita masih belum cukup melindungi Hak Asasi Manusia. Kebebasan berekspresi kita, yang tentunya termasuk di dalamnya kebebasan artistik, masih berada dalam ancaman jeratan pidana yang bertebaran dalam pasal-pasal draconian di UU ITE, pasal makar dan lain sebagainya. Persoalan kebebasan ini sangat mendasar untuk terlebih dahulu dibenahi.

Perlu ada kerangka hukum yang lebih menguatkan kebebasan warga, dengan mengubah atau mencabut berbagai peraturan pengekang kebebasan yang tersebar. Penegakkan hukum perlu dipastikan berjalan dengan proses hukum yang fair, ketika menerapkan batasan atas kebebasan. Perlu ada keberpihakan yang memadai dari pembentuk kebijakan dan penegak hukum kita, dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Pada akhirnya, perlu disadari bahwa memperjuangkan kebebasan bukan urusan hukum semata. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu kutipan terkenal Frederick Douglass: “The law on the side of freedom is of great advantage only when there is power to make that law respected”.

*)Eryanto Nugroho, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Dosen STH Indonesia Jentera.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait