Seni dan Hukum yang Membungkam
Kolom

Seni dan Hukum yang Membungkam

​​​​​​​Hukum bisa digunakan penguasa untuk bungkam ekspresi seni yang suarakan protes. Upaya ini kerap berakhir gagal, tapi terus diulangi dari masa ke masa.

Bacaan 6 Menit

Misalnya, lewat lukisan Guernica (1937), Pablo Picasso memprotes brutalitas perang dan fasisme ketika terjadi pengeboman kota Guernica di Spanyol tanah kelahirannya. Raden Saleh memperbesar proporsi kepala Letjen De Kock dan para perwiranya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857), yang menurut para ahli merupakan bentuk protes Raden Saleh pada kesombongan dan penindasan kolonialisme Belanda.

Penguasa otoriter pastinya anti-kebebasan, dan takut pada protes yang disuarakan melalui ekspresi seni. Penguasa otoriter cenderung membatasi seni dan pegiat seni, hingga hanya boleh berperan seperti dalam kisah dongeng raja-ratu lalim: jadi badut yang bertugas melucu saat raja sedih, atau menyanyi-menari menghibur para bangsawan saat pesta.

Di Indonesia, hubungan antara seni dan suara protes punya jejak lumayan panjang. Seni sudah teruji dan terbukti tangguh untuk jadi jalan perlawanan atas ketidakadilan. Di masa Orde Baru misalnya, ada karya puisi Wiji Thukul, lagu Iwan Fals, atau lakon Teater Koma yang bisa jadi contoh ekspresi seni yang menyuarakan protes dengan caranya masing-masing.

Kita semua berutang pada beragam protes yang telah membawa umat manusia ke kondisi yang lebih baik. Indonesia bisa merdeka salah satunya karena ada protes, berbagai rezim otoriter bisa jatuh karena protes. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga ruang protes ini, termasuk protes yang disuarakan lewat ekspresi seni.

Kebebasan Artistik

Hukum sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kebebasan. Masalahnya, masih banyak salah kaprah yang menyempitkan hukum sekadar jadi alat untuk membatasi, melarang, atau memberi sanksi demi ketertiban. Pemujaan berlebihan pada efektivitas larangan, sanksi pidana, maupun efek jera, sering menempatkan hukum seolah selalu berseberangan dengan kebebasan.

Lebih dari 300 tahun lalu, John Locke menuliskan pandangannya dalam Second Treatise of Government (1690), soal hubungan antara hukum dan kebebasan: “.. the end of law is not to abolish or restrain, but to preserve and enlarge freedom: for in all the states of created beings capable of laws, where there is no law, there is no freedom". Kutipan ini penuh makna dan perlu didiskusikan mendalam pada kesempatan lain di luar tulisan sederhana ini. Hukum bukan untuk membatasi kebebasan, melainkan untuk melestarikan (to preserve) dan memperbesarnya (to enlarge). Jika kita sepakat dengan pandangan Locke ini, maka kita akan bisa memandang hukum, seperti juga seni, sebagai karib dari kebebasan.

Kebebasan artistik (artistic freedom) didefinisikan oleh UNESCO sebagai kebebasan untuk berimajinasi, berkarya, dan mendistribusikan ekspresi kebudayaan yang bebas dari sensor pemerintah, campur tangan politik, atau tekanan aktor non-negara (non-state actors). Pengaturan terkait kebebasan artistik ada di Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi UU No.12 Tahun 2005), International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (diratifikasi UU No.11 Tahun 2005), dan dalam konstitusi kita UUD 1945. Pasal 28C UUD 1945 mengatur antara lain tentang hak untuk memperoleh manfaat dari seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia.

Tags:

Berita Terkait