Serikat Buruh Soroti 6 Ketentuan dalam Perpres Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Berita

Serikat Buruh Soroti 6 Ketentuan dalam Perpres Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Pengusaha mengingatkan agar sejumlah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang menyangkut penggunaan tenaga kerja asing (TKA) untuk disesuaikan dengan Perpres.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Akhir Maret 2018 Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Perpres No.20 Tahun 2018 itu banyak memuat ketentuan baru yang berbeda dari peraturan sebelumnya yakni Perpres No.72 Tahun 2014 tentang Penggunaan TKA Serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping. Misalnya, sekarang pengesahan Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) sekaligus sebagai izin mempekerjakan TKA (IMTA). Sebelumnya, RPTKA digunakan sebagai dasar untuk memperoleh IMTA.

 

Sebelumnya, Perpres No. 72 Tahun 2014 mewajibkan pemberi kerja TKA mengantongi IMTA kecuali bagi perwakilan negara asing yang menggunakan TKA sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Sekarang ketentuan itu diubah, pemberi kerja tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA dengan jabatan direksi atau komisaris pada pemberi Kerja TKA, pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing atau TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah.

 

Perpres No. 20 Tahun 2018 yang diundangkan 29 Maret 2018 itu juga mengatur untuk keadaan mendesak dan darurat, pemberi kerja bisa langsung mempekerjakan TKA tanpa terlebih dulu mendapat pengesahan RPTKA. Permohonan pengesahan RPTKA bisa diajukan paling lambat 2 hari kerja setelah TKA yang bersangkutan bekerja.

 

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan kebijakan terbaru yang disusun pemerintah itu ditujukan agar prosedur penggunaan TKA lebih singkat dan cepat. “Semua prosedur akan lebih singkat, cepat, berbasis online, dan terintegrasi antar-lembaga terkait,” kataya dalam keterangan pers yang diterima medio Maret lalu.

 

Direktur Eksekutif APINDO, Agung Pambudhi, mengatakan pihaknya menyambut baik terbitnya Perpres No.20 Tahun 2018 itu. Tapi dia mengingatkan pemerintah untuk mengatur teknis pelaksanaan Perpres dengan merevisi peraturan turunan seperti Permenaker No.35 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Permenaker No.16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA.

 

Agung mencatat ada sejumlah ketentuan baru yang diatur dalam Perpres No.20 Tahun 2018 yang relatif membantu pemberi kerja dalam mempekerjakan TKA. Misalnya, untuk jabatan tertentu pemberi kerja bisa langsung mempekerjakan TKA tanpa perlu mengurus RPTKA terlebih dulu. Pada regulasi sebelumnya, hal itu tidak dimungkinkan karena prosedur yang harus ditempuh pemberi kerja yakni mendapat pengesahan RPTKA kemudian IMTA.

 

“Ini bagus karena memang ada jenis pekerjaan tertentu yang dinamis, belum tentu semua berjalan seperti yang direncanakan dalam RPTKA,” katanya saat dihubungi hukumonline, Jumat (6/4).

 

Baca:

 

Sekalipun norma yang telah diatur dalam regulasi itu sudah baik, Agung menekankan kepada pemerintah untuk mengaturnya lebih detail dan lengkap dalam peraturan turunan. Untuk mempermudah pemberi kerja dalam mempekerjakan TKA, Apindo mengusulkan agar prosedur yang digunakan berbasis daring sehingga bisa lebih cepat dan efektif.

 

Mengenai IMTA, Agung berharap agar diatur lebih lanjut dalam Permenaker. Misalnya untuk jenis pekerjaan yang sementara atau jangka pendek apakah memungkinkan untuk menggunakan visa selain visa kerja, seperti visa kunjungan wisata. Jika bisa dilakukan, hal ini tentu saja sangat membantu pemberi kerja apalagi ketika TKA itu dibutuhkan sangat mendesak atau darurat.

 

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menyoroti sedikitnya 6 ketentuan yang diatur Perpres No.20 Tahun 2018. Pertama, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan RPTKA, tapi dalam Perpres ada celah bagi pemberi kerja untuk menghindari kewajiban itu walau terbatas untuk jenis pekerjaan direksi dan komisaris serta TKA yang dibutuhkan pemerintah. “Harusnya Perpres No.20 Tahun 2018 ini mematuhi ketentuan Pasal 42-49 UU Ketenagakerjaan,” urainya.

 

Kedua, ketentuan mengenai visa tinggal terbatas (Vitas) yang bisa diurus di perwakilan Republik Indonesia di luiar ngeri, memberi ruang bagi TKA untuk bisa bekerja terlebih dulu di Indonesia setelah itu mengurus izin kerja. Ketiga, Pasal 6 ayat (1) Perpres No.20 Tahun 2018 berpotensi menutup kesempatan bagi pekerja profesional lokal untuk menempati jabatan di perusahaan karena TKA boleh menjabat posisi yang sama pada perusahaan yang berbeda.

 

Keempat, Perpres No.20 Tahun 2018 menghapus IMTA sehingga akan menyulitkan aparat untuk melakukan pengawasan. Regulasi itu menyatakan pengesahan RPTKA adalah IMTA, padahal keliru karena kedua hal tersebut berbeda. “Perpres ini memang memberi kemudahan bagi pemberi kerja dan TKA tapi kan melanggar ketentuan UU Ketenagakerjaan yang menyatakan ada RPTKA dan IMTA,” tukasnya.

 

Kelima, Pasal 10 Perpres No.20 Tahun 2018 menyebut RPTKA tidak dibutuhkan bagi komisaris dan direksi serta TKA yang dibutuhkan pemerintah. Menurut Timboel ini memastikan TKA dengan jabatan tersebut tidak perlu lagi mengantongi izin, dampaknya akan menurunkan pemasukan untuk negara yakni kompensasi TKA dalam bentuk PNBP.

 

Keenam, Timboel melihat adanya Vitas dan izin tinggal terbatas (Itas) sebagaimana diatur Pasal 17 Perpres No.20 Tahun 2018 membuka ruang TKA untuk bekerja tanpa pemberi kerja yang berbadan hukum. Dia khawatir ketentuan ini digunakan oleh pemberi kerja perseorangan untuk merekrut TKA. Padahal Pasal 42 UU Ketenagakerjaan melarang perseorangan mempekerjakan TKA.

Tags:

Berita Terkait