Serikat Buruh Tolak Usulan Apindo Soal Permenaker No Work No Pay
Terbaru

Serikat Buruh Tolak Usulan Apindo Soal Permenaker No Work No Pay

Menteri Ketenagakerjaan diminta tidak mengabulkan permintaan Apindo untuk menerbitkan Permenaker tentang fleksibilitas jam kerja yang menganut prinsip no work no pay.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Usulan Apindo kepada Menteri Ketenagakerjaan untuk menerbitkan peraturan yang memuat tentang fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay mendapat sorotan kalangan serikat buruh. Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menolak usulan itu. Menurutnya usulan tersebut menunjukkan kalangan pengusaha semakin rakus dan hanya mementingkan keuntungan untuk dirinya sendiri.

Mirah mencatat beberapa tahun terakhir pengusaha dimanjakan melalui berbagai kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah antara lain UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tapi ternyata hal itu tidak cukup, dan saat ini Apindo sebagaimana disampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR belum lama ini mengusulkan kepada Menteri Ketenagakerjaan untuk menerbitkan Permenaker tentang fleksibilitas jam kerja yang menganut prinsip no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar).

“ASPEK Indonesia mendesak Menteri Ketenagakerjaan untuk menolak dengan tegas terkait permintaan aturan fleksibilitas jam kerja ‘no work no pay’ yang tidak manusiawi tersebut,” kata Mirah saat dikonfirmasi, Selasa (15/11/2022).

Mirah mendesak pemerintah untuk memperhatikan nasib pekerja/buruh di Indonesia. Jangan sampai kalangan pekerja/buruh mengalami eksploitasi oleh pengusaha. Pekerja/buruh berkontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia. Oleh karena itu pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada buruh baik itu kepastian kerja, upah layak, dan jaminan sosial.

Alih-alih mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), Mirah menilai usulan Apindo itu seolah untuk mencari alasan menghindar dari kewjiban membayar hak-hak pekerja/buruh. Pengusaha merupakan salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk memberi kesejahteraan kepada buruh.

Menurut Mirah, pemerintah dan pengusaha harusnya mengoptimalkan peran serikat pekerja/buruh di setiap perusahaan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan efisiensi perusahaan tanpa menghilangkan hak-hak normatif pekerja/buruh, termasuk PHK.

Penolakan serupa juga disuarakan Presiden KSPI, Said Iqbal, karena hal tersebut melanggar UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Upah buruh Indonesia bersifat upah bulanan, bukan upah harian. Dalam UU Ketenagakerjaan tidak boleh memotong gaji pokok," tegasnya.

Iqbal mengingatkan Pasal 93 UU No.13 Tahun 2003 mengatur upah buruh harus tetap dibayar jika buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, tapi pengusaha tidak mempekerjakannya baik karena kesalahan sendiri atau halangan yang seharusnya bisa dihindari pengusaha. “Dalam hal ini buruh ingin tetap bekerja, bukan dirumahkan. Maka upah harus tetap dibayar,” tegasnya.

Terkait dalih merumahkan untuk menghindari PHK, Iqbal menilai itu hanya akal-akalan. Tidak ada alasan bagi pengusaha melakukan PHK karena pertumbuhan ekonomi Indonesia terbaik nomor 3 dunia. "Dan Indonesia menjadi negara terkaya nomor 7 terbaik dunia, melampaui Inggris dan Perancis. Tapi upah buruh Indonesia rendah sekali akibat omnibus law," imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait