Sertifikasi Halal Beralih, MUI Persoalkan UU Jaminan Produk Halal
Berita

Sertifikasi Halal Beralih, MUI Persoalkan UU Jaminan Produk Halal

Pemohon minta agar Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 47 ayat (2) UU JPH tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Dia menilai UU JPH tidak mampu mengangkat persoalan yang ada di masyarakat terkait jaminan produk halal. Namun, UU JPH justru membuat masalah sosial baru di masyarakat dengan meresahkan kehalalan suatu produk. Sebab, UU JPH telah mencabut hukum yang  telah lama hidup di masyarakat selama 30 tahun (LPPOM) dengan membentuk BPJPH.

 

“Seiring berjalannya waktu telah lahir hukum yang mengakar kuat di tengah masyarakat bahwa kehalalan produk merupakan domain kewenangan MUI melalui LPPOM MUI,” tegasnya.

 

Apalagi, faktanya BPJPH saat ini belum siap mengemban kewenangan menjalankan sistem sertifikasi halal dalam UU JPH mulai 17 Oktober 2019 mendatang karena belum efektifnya keorganisasiaan dan perangkat pendukungnya. “Sangat jelas tanpa keraguan bahwa proses lahirnya UU JPH bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan hukum yang hidup di masyarakat,” dalilnya.

 

Ikhsan berpendapat pengambilalihan tugas dan fungsi LPPOM MUI secara sepihak oleh negara merupakan tindakan yang bertentangan dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yaitu tujuan negara melindungi segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum. Terlihat jelas UU JPH, khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C dan E ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

 

Mengutip Pasal 1 angka 10 UU JPH yang menyebutkan sertifikasi halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI, menurutnya kewenangan sertifikasi halal oleh BPJPH bersama-sama dengan MUI.

 

Karena itu, kata dia, BPJPH tidak akan pernah bisa memberi sertifikat halal kepada produk dalam negeri atau luar negeri tanpa adanya keikutsertaan MUI dalam setiap prosesnya. Sedangkan, kehalalaan suatu produk hanya dapat dilakukan para ulama yang dimanisfestasikan dalam kelembagaan MUI dan LPPOM MUI yang telah dipercaya masyarakat.

 

Dalam petitumnya, Ikhsan meminta agar Pasal 5, Pasal 6, Pasal 47 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

 

Sebelumnya, Indonesia Halal Watch (IHW) sebagai lembaga pemerhati produk halal mengajukan judicial review atas PP 31/2019 yang baru saja terbit pada Mei lalu. Salah satu alasan IHW mengajukan uji materi PP itu karena berpotensi membebani masyarakat, khususnya dunia usaha. Mandatori sertifikasi halal berpotensi membebani UKM karena seharusnya negara memsubsidi sertifikasi halal bagi UKM, tidak dibebankan kepada pihak-pihak lain sebagaimana tersirat dalam Pasal 62 dan Pasal 63 PP JPH itu. Selain itu, PP ini mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI sebagai stakeholder yang diamanatkan UU JPH yakni sebagai lembaga yang diberikan kewenangan menetapkan kehalalan produk.

Tags:

Berita Terkait