Setara Institute Minta DPR Tolak Perppu Cipta Kerja
Terbaru

Setara Institute Minta DPR Tolak Perppu Cipta Kerja

Dinilai sebagai akal-akalan pemerintah untuk menghindari peran partisipasi publik.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Belum juga memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020, pemerintah malah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Sontak, banyak kalangan mencibir langkah pemerintah seolah menghindar dari amanat putusan MK yang menilai UU 11/2020 inkonstitusional bersyarat agar diperbaiki dalam kurun 2 tahun sejak putusan dibacakan.

Dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (3/1/2023), Direktur Eksekutif Setara Instutute, Ismail Hasani berpandangan penerbitan Perppu 2/2022 dengan dalih sebagai pengisi kekosongan hukum bagi investor dalam dan luar negegi di tengah himpitan ketidakpastian global amat berlebihan. Karenanya, Setara Institute memiliki empat catatan terhadap Perppu 2/2022 tersebut.

Pertama, praktik yang dilakukan Presiden semakin menunjukkan kegagalan sistem legislasi dalam sistem presidensial. Menurut Ismail, dalam sistem presidensial, kekuasaan dan legitimasi rakyat yang dipupuk melalui pemilihan langsung semestinya tidak dibarengi kewenangan legislasi dalam diri seorang presiden. Karenanya, presiden cukup diberikan kewenangan veto atas sebuah produk UU yang tidak disetujuinya.

Baca Juga:

Tapi, desain konstitutional Indonesia terlanjur memberikan kewenangan legislasi terhadap presiden. Dampaknya, seperti dalam penerbitan Perppu 2/2022. Dia menilai pasca MK menyatakan UU 11/2020 inkonstitusional bersyarat karena tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna, pemerintahan Jokowi malah menempuh jalan pintas dengan menerbitkan Perppu 2/2022 tanpa perubahan berarti. Sebab, hanya ditujukan untuk melegalisasi keberlakuan UU Cipta Kerja.

“Akumulasi kekuasaan yang dipupuk dalam sistem presidensial di satu sisi, dan sistem legislasi yang rapuh, telah memberikan kekuasaan absolut pada presiden,” kata dia.

Kedua, dalil Presiden perihal ancaman ketidakpastian global sebagai parameter kegentingan memaksa justru paradoks dengan apa yang telah digaungkan oleh Jokowi dalam berbagai pernyataannya. Seperti kondisi perekonomian Indonesia termasuk paling tinggi di antara negara-negara anggota G20 dengan capaian 5,72 persen di kuartal III 2022. Begitu pula angka inflasi dalam posisi yang masih dapat dikendalikan. Dengan kata lain, ancaman ekonomi global yang didalilkan sebagai kegentingan memaksa dalam pembuatan Perppu sama sekali tidak memiliki alasan obyektif.

Tags:

Berita Terkait