Setara Institute Persoalkan Keppres Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
Utama

Setara Institute Persoalkan Keppres Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

Mekanisme non-yudisial yang ditempuh dinilai malah menjadi bentuk pengampunan massal dan ‘cuci tangan’ negara serta melembagakan impunitas semakin kukuh dan permanen.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi penyelesaian pelanggaran HAM berat jalur yudisial dan non yudisial.
Ilustrasi penyelesaian pelanggaran HAM berat jalur yudisial dan non yudisial.

Presiden Joko Widodo mengklaim telah meneken Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dalam pidato kenegaran pada peringatan HUT ke-77 Republik Indonesia di Gedung MPR, Selasa (16/8/2022). Bagi pegiat hak asasi manusia (HAM) Keppres tersebut bermasalah. Sebab, berdasarkan draf Keppres yang beredar, terdapat pembentukan Tim Paham dengan sejumlah anggota yang berpotensi memiliki keterkaitan dengan pelanggaran HAM masa lalu.

Demikian disampaikan Ketua Setara Institute, Hendardi melalui keterangannya, Rabu (17/8/2022). “Pembentukan Tim Paham hanyalah proyek mempertebal impunitas dan pemutihan pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas diselesaikan oleh negara,” ujarnya.

Menurutnya, langkah pemerintah ini menunjukan ketidakmampuan pemerintahan Jokowi menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu. Termasuk kasus yang telah diselidiki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Alih-alih merangkai kepingan fakta dan informasi untuk mengakselerasi mekanisme yudisial yang selama ini menjadi perintah UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, presiden malah menutup rapat tuntutan publik dan harapan korban akan kebenaran dan keadilan.

Baginya, daya rusak Tim Paham berdampak besar terhadap upaya pencarian keadilan. Pasalnya, tidak diberi mandat pencarian kebenaran dalam memenuhi hak korban dan publik alias right to the truth sebagai dasar kelayakan apakah suatu peristiwa dapat dibawa ke proses pengadilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial.

Baca Juga:

Itu Sebabnya, kata Hendardi, pilihan non yudisial telah ditetapkan, maka Presiden Jokowi sejatinya mengingkari mandat UU 26/2000, yang menegaskan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 dapat pula diadili melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. “Dapat dibayangkan, segera setelah Tim Paham menyelesaikan tugasnya, maka Jokowi akan mengklaim bahwa semua pelanggaran HAM telah diselesaikannya,” ujarnya.

Menurutnya, Presiden Jokowi memahami alur penyelesaian pelanggaran HAM. Tapi sayangnya, Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu malah menjadi bagian dari “persengkongkolan” berbagai pihak dalam mencetak prestasi absurd bagi presiden. Kemudian “pemutihan” terhadap orang yang diduga terlibat pelanggaran HAM

Bahkan, kata hendardi, bagi para pejabat dan lingkaran kekuasaan yang selama ini tersandung tuduhan pelanggaran HAM, terus menerus gagal dalam pencapresan. Menurutnya, mekanisme non-yudisial menjadi bentuk pengampunan massal dan ‘cuci tangan’ negara serta melembagakan impunitas semakin kukuh dan permanen. Padahal, semestinya negara membuka lagi persetujuan yang dibuatnya sendiri terkait rekomendasi Universal Periodic Review PBB, 2017 untuk menguatkan komitmen dan meneruskan usaha melawan impunitas.

“Langkah aktual yang dipilih pemerintah justru vice versa atau berkebalikan dengan komitmen negara terhadap dunia internasional,” katanya.

Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute Sayyidatul Insiyah melanjutkan argumentasi Keppres tak akan menutup peluang penyelesaikan melalui jalur yudisial hanya retorika sejenak. Bahkan secara politik, hanya ‘hiburan’ bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Menurutnya, di tengah konfigurasi kekuasaan yang tidak memiliki perhatian pada penghormatan, pemajuan dan perlindungan HAM, tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM di masa mendatang bakal semakin kehilangan dukungan politik.

Sayyidatul menerangkan Tim Paham hanyalah panitia bentukan Presiden Jokowi dalam memberikan santunan kepada korban. Tujuannya, kata Sayyidatul, membungkam tuntutan dan aspirasi korban. Padahal, dalam hukum HAM internasional dan konsep transitional justice bukan hanya right to reparation (hak atas pemulihan) yang harus dipenuhi. Tapi pula right to truth, right to justice (hak atas keadilan) dan guarantees of non-repetition (jaminan ketidakberulangan).

“Keppres yang diterbitkan sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI ini bukan hanya harus ditolak, tetapi harus dipersoalkan secara hukum dan politik,” ujarnya.

Komitmen presiden

Terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin menampik kekhawatiran Setara Institute. Menurutnya, komitmen Presiden Jokowi menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM ebrat di masa lampau tak pernah luntur. Malahan Presiden meneguhkan komitmennya membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang ‘menyandera’ dan menguras energi bangsa.

Baginya, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum pengesahan UU 26/2000 dilakukan melalui dua pendekatan yakni yudisial dan non yudisial. Bila yudisial, presiden pun telah memerintakan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM melanjutkan proses hukum atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti halnya dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai Papua pada 2014 silam. Berkas perkara kasus tersebut pun telah dilimpahkan ke pengadilan.

Sementara non-yudisial, mengedepankan pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan tindakan serupa. Langkah tersebut dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Karenanya, Presiden Jokowi telah menandatangani Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

“Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung,” katanya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam salah satu bagian pidatonya mengatakan penyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang dalam tahap proses pembahasan di internal pemerintah. Begitu pula tindak lanjut atas temuan Komnas HAM dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat masih terus berjalan.

“RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan. Tindak lanjut atas temuan Komnas HAM masih terus berjalan. Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tanda tangani,” katanya,” ujarnya dalam Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR memperingati HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia di Komplek Gedung MPR, Selasa (16/8/2022) kemarin.

Tags:

Berita Terkait