Siapa Bilang Yurisprudensi Tak Penting Bagi Hakim Indonesia
Reformasi Peradilan:

Siapa Bilang Yurisprudensi Tak Penting Bagi Hakim Indonesia

Yurisprudensi adalah sumber hukum yang sangat penting bagi hakim. Undang-Undang menyebut pentingnya kemerdekaan hakim dalam memutus perkara.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka, putusan hakim di pengadilan bermuara kepada penegakan hukum dan tercapainya rasa keadilan masyarakat. Untuk itu menurut Syarifuddin, bukan hanya aspek kepastian hukum yang menjadi titik tekan dalam setiap putusan hakim di pengadilan, tapi juga hakim memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Untuk itu hakim akan sangat berhati-hati dalam memeriksa setiap perkara agar tidak sampai mengusik rasa keadilan masyarakat. “Sekali hakim ini salah (memutuskan), seumur hidup akan dihantui rasa bersalah. Banyak contoh perkara yang mengusik rasa keadilan ini,” ujar Syarifuddin di hadapan peserta diskusi, Senin (15/01).

 

Meskipun Adriaan menyebut ada pengurangan tensi perhatian pada yurisprudensi, sebenarnya Mahkamah Agung tetap menerbitkan putusan-putusan penting setiap tahun. Belakangan, Mahkamah Agung tak lagi menggunakan istilah yurisprudensi melainkan putusan-putusan terpilih.

 

(Baca juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions Tahun 2016)

 

Yurisprudensi dan Sistem Kamar MA

Upaya memperkuat basis yurisprudensi sebagai pijakan bagi hakim sebenarnya mendapat tempat setelah Mahkamah Agung menerapkan sistem kamar. Sistem kamar ditetapkan berdasarkan SK Ketua Mahkamah Agung No. 142/KMA/SK/IX/2011. Sejak kebijakan ini terbit hingga sekarang sudah beberapa langkah perubahan yang ditempuh. Misalnya, membuat peta jalan (road map) implementasi sistem kamar, penyesuaian struktur unsur pimpinan MA yang ideal sesuai sistem kamar, dan perubahan tata kerja penanganan perkara.

 

Melalui sistem kamar itu pula seyogianya Mahkamah Agung semakin mudah mengumpulkan dan memilah yurisprudensi yang penting. Hasilnya bisa dijadikan pedoman keseragaman penerapan hukum untuk perkara sejenis. Ujungnya adalah konsistensi putusan-putusan hakim. Konsistensi putusan MA dipandang berhubungan langsung dengan terwujudnya kepastian hukum di Indonesia. Sebagai pembina keseragaman dalam penerapan hukum, putusan-putusan MA menjadi panduan bagi pengadilan-pengadilan di bawahnya saat memutus permasalahan hukum serupa. Panduan atau pedoman tersebut salah satunya dilakukan melalui yurisprudensi dari Mahkamah Agung.

 

Sejak berlakunya sistem kamar di MA, perkara yang masuk ke MA diklasifikasikan sesuai kamar yang ada untuk kemudian ditangani oleh Hakim Agung di kamar masing-masing. Dalam prosesnya, musyawarah Hakim Agung dalam kamar perkara saat menangani suatu perkara, seringkali diwarnai dengan perbedaan pendapat. Untuk itu dalam mengambil keputusan, mekanisme yang digunakan adalah dengan mengikuti suara terbanyak dari anggota yang hadir dalam musyawarah kamar.

 

Syarifuddin menjelaskan bahwa, setiap tahun MA mengadakan rapat pleno kamar. Setiap rapat pleno membahas dan menyamakan persoalan hukum baru yang lahir dari putusan kasasi atau peninjauan kembali (PK). Lalu, persoalan hukum ini menghasilkan kesepakatan rumusan kaedah (prinsip) hukum baru di masing-masing kamar yang dijadikan pedoman penanganan perkara bagi semua tingkat peradilan. 

 

Setiap hasil pleno kamar ini biasanya dituangkan dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Misalnya, SEMA No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. SEMA hasil rapat pleno kamar tersebut kemudian disebarluaskan kepada hakim-hakim di tingkat banding dan tingkat pertama untuk diikuti.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait